Kisah yang akan gue ceritakan ini, adalah kisah nyata yang terjadi di era EYD belum ditetapkan. Sekitar tahun 1950.
Wanita dan tjinta. Wanita, jika soedah sangat mentjintai pria maka ia akan mengorbankan apapoen demi membahagiakannya.
Hadeh capek gue harus nulis dalam ejaan lama, mentang-mentang mau berbagi cerita jadul. Biasa aja lah ya nulisnya. Okecip.
***
She was smart, until she fell in love.
Ungkapan itu benar, setidaknya terbukti pada Amini, seorang janda beranak 5. She was a strong woman. Bayangkan saja, dengan tegar ia dapat melanjutkan hidup dan mengurus 5 anak perempuan yang masih terbilang di bawah umur, ketika suaminya harus dipanggil menghadap sang pencipta.
Sebagai janda muda di kampung, ia kemudian mencari nafkah dengan membuka warung nasi dan menyewakan kamar kosong di rumah peninggalan suaminya.
Beruntung Amini memiliki saudara-saudara yang tidak kikir, yang bersedia membantu biaya sekolah ketiga anak perempuannya. Sehingga penghasilan wanita berusia 30 tahun itu, cukup untuk mengurus keperluan dua balitanya saja.
Ia pikir, kehilangan suami adalah kehilangan cinta dalam hidupnya. Ternyata, Tuhan menganugerahi lagi cinta yang dikirim melalui seorang pemuda yang berdiri di depan pintu rumah Amini di suatu Sabtu sore.
“Permisi, dengar-dengar ada kamar kosong disewakan? Apakah masih tersedia? Jika kondisi dan harga cocok, maka saya bersedia mengisinya.”
Kala, nama pemuda berusia 25 tahun itu, yang sedang menuntut ilmu di sekolah Guru Agama. Berwajah rupawan dan bertutur kata manis, membuat Amini terpesona.
Akhirnya Kala pun menyewa kamar tersebut. Hubungannya dengan Amini juga tak seperti anak kos dengan ibu kos. Tapi mereka cukup dekat berteman. Suatu ketika, Kala menghampiri Amini yang sedang menyuapi si bungsu makan.
“Sini Mbak, saya bantu gendong si bungsu. Biar gampang nyuapinnya.” Tanpa menunggu persetujuan, Kala sudah menggendong bayi kecilnya Amini. Pertama, pria ini pintar sekali mengambil hati wanita.
“Ngomong-ngomong gak apa-apa kan ya saya panggil Mbak, bukan Ibu Kos. Abisnya Mbak, terlalu muda dan cantik untuk disapa ‘Bu’.” Senyumnya mengembang.
Kedua, pria ini juga pintar menyenangkan hati wanita.
Amini hanya tersipu malu.
“Saya…sebenarnya…betah tinggal di sini, tapi sepertinya hanya sampai akhir bulan ini.” ujarnya sambil mengelapi mulut mungil bayi yang berecetan makanan.
Amini kaget mendengar ucapan pemuda yang diam-diam mencuri perhatiannya ini. “Ke..napa memangnya?”
Kala menghela napas. “Uang kiriman Ibu saya tidak sebanyak dulu lagi, hanya cukup untuk biaya sekolah dan makan. Saya harus cari sewa yang lebih murah.” Ketiga, pria ini dengan mudahnya membuat wanita lemah dan mengkasihaninya.
Tiba-tiba muncul perasaan takut kehilangan pemuda ini dalam diri Amini. Satu atap selama 3 bulan terakhir memang sudah cukup membuat Amini uring-uringan, tetapi membiarkan pria ini keluar dari rumahnya adalah hal yang akan memusnahkan kebahagiannya.
“Jangan pergi. Hmmm..maksud saya, eh..” Amini terbata-bata, bingung bagaimana harus mengutarakan ide gilanya.
“Kala bayar setengah harga saja. Setengah lagi, kamu bayar dengan bantu mengasuh anak saya dan membantu saya di dapur. Bagaimana?”
Kala terdiam.
“Sayang sekali kalau pendidikan kamu tersendat karena biaya, tinggal setahun lagi kan?”
Kala masih berpikir, garis kepalanya mengerut. Lalu ia tersenyum lagi.
“Ah Mbak ternyata gak cuma cantik, tapi baik hati. Saya terima penawarannya.” Tangan pria itu kemudian menggenggam tangan Amini.
Keempat, rayuan pria ini mulai membuat Amini tak berdaya.
Kelima, beberapa bulan kemudian ia melamar Amini.
“Aku memang tak punya apa-apa dan tak bisa menjanjikan kehidupan layak untukmu dan anak-anakmu, Amini. Tapi aku jatuh cinta padamu, dan ingin segera menghabiskan sisa hidupku bersamamu.”
“Kalau sudah lulus nanti, aku langsung mengajar dan berstatus pegawai negeri. Itu cukup untuk hidup kita, anak-anakmu, dan anakku yang kelak kamu lahirkan. Ijinkan aku menjadi suami yang akan menjadi pelindungmu, sayangku.”
Singkat cerita, Kala akhirnya berhasil pindah dari kamar sewa berukuran 2 x 1.5 m ke kamar Amini. Sebagai seorang Isteri yang sangat mencintai suaminya, ia bahkan rela membiayai seluruh pendidikan Kala sampai selesai, dari hasil jualannya.
Setelah setahun berumah tangga, Amini dan Kala dianugerahi bayi laki-laki. Sayangnya, ketika sang bayi baru berusia 6 bulan, Kala harus mutasi pekerjaan ke luar kota.
Amini berhasil dibujuk oleh Kala agar tidak bersedih. “Tiap Jumat sore kan aku pulang sampai Minggu. Masa kamu mau menghalangi tugas suami mencari nafkah?”
Bertahun-tahun lamanya, Amini dibuat percaya oleh suami tercinta. Amini mengira, di kota tempatnya bekerja, Kala tinggal di sebuah kamar kontrakan. Bukan di kamar anak kepala sekolah tempatnya mengajar.
Ya, Kala ternyata menikah lagi.
Hati Amini hancur seketika, ia tak terima dimadu. Namun lagi-lagi, Kala dengan hebatnya dapat meyakinkan Amini agar dapat menerima poligami ini.
Cinta. Cinta yang membuat Amini bertahan.
Kala bahkan meminta Amini merahasiakan statusnya sebagai isteri pertama. Rupanya Kala mengaku sebagai bujangan, dan demi karir yang cemerlang ia mendekati anak gadis atasannya.
Amini hanya bisa pasrah, walau menangis dalam hati.
Namun lama kelamaan suaminya tak pernah pulang lagi. Sebulan sekali saja sudah bagus, tapi sayangnya Kala justru pulang saat sedang susah.
Amini yang sangat mencinta Kala lupa segala kesedihannya saat Kala datang, dengan sabarnya ia melayani suaminya itu.
Dan kembali menangis ketika suaminya pergi lagi.
Kelima anak perempuan Amini yang semakin tumbuh besar dan sudah mengerti apa yang terjadi, berusaha untuk menyadarkan Ibu mereka.
Putri ketiga Amini adalah yang paling membenci Ayah tirinya itu. Ia yang paling sering mengingatkan Ibunya.
“Ibu sadarlah, untuk apa masih mempertahankan laki-laki yang sudah menyakiti Ibu. Demi Tuhan, ia sudah menduakan Ibu. Dan Ibu masih mau baik padanya?”
Amini hanya dapat menangis, menangis, dan menangis.
***
Di suatu siang, Amini menerima sebuah surat. Setelah dibuka, ternyata isinya ada 2 lembar. Lembaran pertama berisi pernyataan cerai dari pengadilan agama, dan lembar berikutnya ditulis sendiri oleh Kala. Permintaan maaf, karena ia dipaksa hanya memiliki satu isteri. Dan pilihannya jatuh pada isteri mudanya.
Amini sayang,
Maafkan aku, aku harus melakukan ini. Aku tak punya pilihan. Terima kasih telah hadir dalam hidupku ya, kamulah penyelamatku.
Satu hal yang kamu perlu tahu, aku selalu mencintaimu. Kamu cinta pertamaku, tak ada yang dapat memberikan kenyamanan selain dirimu.
Kamu, wanitaku, tempatku selalu menginginkan pulang.
Anak-anaknya prihatin dengan keadaan Amini yang bertahun-tahun hidup dalam kepedihan. Ia sering menangis tiba-tiba. Di kamarnya, masih terpajang foto pernikahannya dengan Kala. Bahkan foto suami pertamanya saja sudah tak ada.
Beberapa pria sebayanya sempat melamar Amini setelah kembali menjanda, namun Amini menolaknya.
Tak ada yang salah dengan keputusan Amini untuk hidup sendiri tanpa pria. Tak salah juga hatinya yang tak dapat melupakan Kala. Toh Kala adalah Ayah kandung dari putranya, sesekali Kala juga masih datang ke rumah Amini untuk mengunjungi putra mereka.
Yang salah adalah, Kala masih memanfaatkan kelemahan Amini karena tahu wanita itu masih sangat mencintainya. Setiap mantan suaminya itu datang, ia pasti akan menyiapkan masakan enak. Dan setiap suaminya pergi, Amini juga membekalinya sesuatu.
Ah Amini, mau sampai kapan harus berkorban demi Kala?
Dan jawabannya adalah tak pernah. Sampai putri-putri dan putranya dewasa dan menikah, bahkan memiliki banyak cucu, Amini masih mencintai mantan suaminya itu.
***
Semalam tadi, gue baru saja mendengarkan cerita lengkap ini dari putri ketiga Ibu Amini, yang tak lain dan tak bukan adalah Mamah gue!
Ya, gue adalah keturunan Ibu Amini yang cinta mati pada pria, sampai rela melakukan apa saja. Kisah ini membuat gue merenungi kisah sendiri. Jangan-jangan, gue sangat mewarisi gen Nenek gue itu. Gue pun seperti dia ketika mencinta, begitu dalam, begitu hebat, dan tak ragu untuk berkorban.
“Sehabis Ibu pulang umroh kemarin sih sudah ngajakin anak-anaknya ngobrol. Minta ijin, katanya dia sama Bapak Kala ada rencana mau balikan. Rujuk.” Sungguh penutup cerita yang membuat gue terkejut.
Apah? Balikan? Astaga! Tuh kan, jangan-jangan memang benar, gagal move on itu faktor turunan juga!!
Baiklah, anggap saja ini sebuah peringatan buat gue dan membuktikan dugaan faktor keturunan itu salah.
Ps. Nama-nama pada kisah ini disamarkan.