Bintang.
Nama yang mengisi hari-hariku selama hampir dua bulan ini.
Sambil menghela nafas panjang, aku kembali menatap layar telepon genggamku dan mulai menekannya untuk mengetikkan sebuah pesan what’s app kepada pria yang aku kenal secara acak dari sebuah situs perjodohan.
“Kamu di mana?”
Sudah dua kali kalimat singkat itu aku kirimkan padanya, namun tak kunjung ada jawaban. Rasa panik dan gelisah berkejaran di benakku. Sejuk dari alat pendingin yang sempat membuatku kedinginan di sudut kafe ini, tak cukup membuatku merasa nyaman.
Satu jam sudah berlalu aku hanya ditemani secangkir cappuccino yang hampir habis tanpa ada kepastian dimana keberadaan Bintang. Bahkan meja di sebelahku sudah berganti pelanggan dua kali.
Hari ini adalah hari pertemuan pertama kami setelah delapan pekan hanya berkomunikasi mengandalkan telepon. Tepatnya tiga hari yang lalu, Bintang mengajakku untuk bertemu.
“Kita…kayaknya udah lumayan ya, Ta deket via telepon gini. Udah saatnya deh kita ketemu, menurut kamu gimana?” Teringat kembali suara beratnya ketika mengajakku saat itu.
Awalnya aku ragu untuk menyambut tawarannya. Ada rasa takut menyeruak di seluruh hatiku. Bagaimana jika tidak berhasil, pikirku. Bagaimana jika ia tidak tertarik pada diriku?
Aku takut gagal lagi.
Sepertinya dewi cinta memang tak sedang berpihak padaku. Untuk kesekian kalinya aku gagal menjalin berhubungan, padahal teman-teman seumuranku rata-rata sudah beranak-pinak.
Adalah Siska, sahabatku yang prihatin dengan keadaanku yang belum juga bisa move on dari mantan yang pernah aku pacari dua tahun terakhir.
Padahal sudah lima bulan yang lalu ia mengakhiri hubungan denganku, namun aku masih saja berharap ia akan kembali. Siska memaksaku untuk ikut mendaftar salah satu situs perjodohan populer di Jakarta.
“Lo butuh distraction, Ta. Punya kenalan baru akan bikin lupain si Adi tolol itu.” Sahabatku itu terdengar sudah sangat kesal sekali padaku sampai memaksaku ikut biro jodoh.
Yang benar saja, tidak pernah terpikirkan sedikitpun untuk mengikutinya. “Enggak. Kesannya gue nggak laku banget sampai ikutan online match segala. Ogah.”
Dua hari kemudian aku akhirnya mengikuti saran Siska juga. Dan aku bertemu Bintang.
***
Sejak mengenal Bintang, pikiranku memang benar-benar teralihkan dari mantanku. Tanpa aku sadari, hari demi hari Bintang selalu menemaniku untuk sekedar mengobrol tidak penting. Kami pun sudah saling bertukar cerita masa lalu.
“Are you out of your mind, Tita?” Mata Siska membesar mendengar pengakuanku bahwa aku sepertinya sudah jatuh cinta lagi.
Aku mengangguk kencang dan sangat antusias menceritakan semua yang selama dua bulan ini aku simpan rapat-rapat. “I know….he’s just a stranger. But I think I have loved him in a strange way.”
“Ketemu dulu deh, Ta. Semua bisa berubah setelah ketemu. Set your expectation low.”
“Lagian lo gak boleh gegabah mempercayakan hati lo buat orang yang nggak jelas gitu ah. Hati-hati pokoknya. Gimana kalau dia itu serial killer?” lanjutnya.
Aku mencibir sahabat yang sudah kukenal sejak masih kuliah itu. “Haduh. Lo sih kebanyakan nonton film horor.”
Aku tahu, meski belum pernah bertemu aku sudah merasa sangat menyukainya. Kabar darinya seperti candu yang aku tunggu setiap hari. Senyum selalu mengembang di bibirku, setiap saat ia menelponku sebelum terlelap.
***
“Mau tambah minumannya, Mbak?” tawar mas pelayan kafe setelah dua jam aku hanya melamun sambil mengaduk-aduk kopiku. Aku menggeleng lemas sambil tersenyum padanya. Dari tadi aku melamun sampai tak sadar suasana kafe ini semakin ramai. Si mas pelayan itu mungkin sudah gemas mengapa aku tak kunjung pergi, disaat banyaknya pengunjung sudah mengantri untuk masuk ke kafe ini.
Aku merasakan udara panas menyelimuti sekelilingku. Keringat mulai muncul di sela-sela rambutku. I thought it was the feeling of butterfly in my stomach, but now I know it’s the pain I think I’m going to get hurt again.
Pesanku belum dibalas juga oleh Bintang. What’s App pria itu menunjukkan ‘last seen’ pukul 19.03, sedangkan pesanku terkirim pukul 18.50. Artinya, ia sudah membaca semua pesanku.
Tapi mengapa tak ada jawaban?
“Lima belas menit lagi kamu nggak muncul, aku balik ya.”
Pesan terakhirku kepadanya lagi-lagi hanya dibaca, lima panggilanku pada telepon genggamnya pun tak ada yang terjawab.
Ia tak datang.. ia secara sengaja tak datang..
Perlahan rasa sakit menjalar di hatiku, memaksa air mata menyeruak dan mengalir di pipiku.
***
Oh, itu dia yang namanya Tita.
Gadis itu menempati meja paling pojok di kafe yang sudah aku pilihkan sebagai tempat pertemuan kami yang pertama. Ia tampak gelisah dan pucat dengan setelan berwarna biru muda membalut kulit putihnya. Tangan kanannya terus mengaduk-aduk cangkir yang berisi minuman, sedangkan satu tangan lainnya menggenggam sebuah hand phone.
Ia pasti sedang menunggu jawabanku atas pesan-pesan yang sudah ia kirimkan padaku.
Aku terus menatapnya dari luar jendela kafe. Aku bahkan masih menggunakan helm-ku dan duduk di atas motor yang kuparkir di halaman samping gedung bernuansa merah itu. Tita tak jelek, meski juga tak rupawan. Yang pasti, aku nyaman berbicara dengannya selama hampir dua bulan ini.
Hanya saja…dia bukan tipe yang aku inginkan. Dia bukan lah yang aku cari dan cocok menjadi pendampingku kelak.
Handphone-ku bergetar lagi, sebuah pesan what’s app muncul di layar berukuran 5″ itu.
“Lima belas menit lagi kamu nggak muncul, aku balik ya.”
Aku sudah yakin dengan keputusanku ini.
Mesin motor kunyalakan dan segera kubersiap meninggalkan parkiran kafe, sambil menatap Tita untuk terakhir kalinya. Pundaknya berguncang, ia sepertinya sedang menangis. Kasihan, ia pikir aku tak pernah datang dan ia pasti akan sangat membenciku setelah hari ini. Tapi itu lebih baik, sebelum ia semakin kecewa.
Maafkan aku, Tita.
kunjungan perdana, salam perkenalan ya ^_^
LikeLike
Salam kenal juga, semoga suka blog ini ya 🙂
LikeLike