Nama yang mengisi hari-hariku selama hampir dua bulan ini.
Sambil menghela nafas panjang, aku kembali menatap layar telepon genggamku dan mulai menekannya untuk mengetikkan sebuah pesan what’s app kepada pria yang aku kenal secara acak dari sebuah situs perjodohan.
“Kamu di mana?”
Sudah dua kali kalimat singkat itu aku kirimkan padanya, namun tak kunjung ada jawaban. Rasa panik dan gelisah berkejaran di benakku. Sejuk dari alat pendingin yang sempat membuatku kedinginan di sudut kafe ini, tak cukup membuatku merasa nyaman.
Satu jam sudah berlalu aku hanya ditemani secangkir cappuccino yang hampir habis tanpa ada kepastian dimana keberadaan Bintang. Bahkan meja di sebelahku sudah berganti pelanggan dua kali.
Hari ini adalah hari pertemuan pertama kami setelah delapan pekan hanya berkomunikasi mengandalkan telepon. Tepatnya tiga hari yang lalu, Bintang mengajakku untuk bertemu.
“Kita…kayaknya udah lumayan ya, Ta deket via telepon gini. Udah saatnya deh kita ketemu, menurut kamu gimana?” Teringat kembali suara beratnya ketika mengajakku saat itu.
Awalnya aku ragu untuk menyambut tawarannya. Ada rasa takut menyeruak di seluruh hatiku. Bagaimana jika tidak berhasil, pikirku. Bagaimana jika ia tidak tertarik pada diriku?
Aku takut gagal lagi.
Sepertinya dewi cinta memang tak sedang berpihak padaku. Untuk kesekian kalinya aku gagal menjalin berhubungan, padahal teman-teman seumuranku rata-rata sudah beranak-pinak.
Adalah Siska, sahabatku yang prihatin dengan keadaanku yang belum juga bisa move on dari mantan yang pernah aku pacari dua tahun terakhir.
Padahal sudah lima bulan yang lalu ia mengakhiri hubungan denganku, namun aku masih saja berharap ia akan kembali. Siska memaksaku untuk ikut mendaftar salah satu situs perjodohan populer di Jakarta.
“Lo butuh distraction, Ta. Punya kenalan baru akan bikin lupain si Adi tolol itu.” Sahabatku itu terdengar sudah sangat kesal sekali padaku sampai memaksaku ikut biro jodoh.
Yang benar saja, tidak pernah terpikirkan sedikitpun untuk mengikutinya. “Enggak. Kesannya gue nggak laku banget sampai ikutan online match segala. Ogah.”
Dua hari kemudian aku akhirnya mengikuti saran Siska juga. Dan aku bertemu Bintang.
***
Sejak mengenal Bintang, pikiranku memang benar-benar teralihkan dari mantanku. Tanpa aku sadari, hari demi hari Bintang selalu menemaniku untuk sekedar mengobrol tidak penting. Kami pun sudah saling bertukar cerita masa lalu.
“Are you out of your mind, Tita?” Mata Siska membesar mendengar pengakuanku bahwa aku sepertinya sudah jatuh cinta lagi.
Aku mengangguk kencang dan sangat antusias menceritakan semua yang selama dua bulan ini aku simpan rapat-rapat. “I know….he’s just a stranger. But I think I have loved him in a strange way.”
“Ketemu dulu deh, Ta. Semua bisa berubah setelah ketemu. Set your expectation low.”
“Lagian lo gak boleh gegabah mempercayakan hati lo buat orang yang nggak jelas gitu ah. Hati-hati pokoknya. Gimana kalau dia itu serial killer?” lanjutnya.
Aku mencibir sahabat yang sudah kukenal sejak masih kuliah itu. “Haduh. Lo sih kebanyakan nonton film horor.”
Aku tahu, meski belum pernah bertemu aku sudah merasa sangat menyukainya. Kabar darinya seperti candu yang aku tunggu setiap hari. Senyum selalu mengembang di bibirku, setiap saat ia menelponku sebelum terlelap.
***
“Mau tambah minumannya, Mbak?” tawar mas pelayan kafe setelah dua jam aku hanya melamun sambil mengaduk-aduk kopiku. Aku menggeleng lemas sambil tersenyum padanya. Dari tadi aku melamun sampai tak sadar suasana kafe ini semakin ramai. Si mas pelayan itu mungkin sudah gemas mengapa aku tak kunjung pergi, disaat banyaknya pengunjung sudah mengantri untuk masuk ke kafe ini.
Aku merasakan udara panas menyelimuti sekelilingku. Keringat mulai muncul di sela-sela rambutku. I thought it was the feeling of butterfly in my stomach, but now I know it’s the pain I think I’m going to get hurt again.
Pesanku belum dibalas juga oleh Bintang. What’s App pria itu menunjukkan ‘last seen’ pukul 19.03, sedangkan pesanku terkirim pukul 18.50. Artinya, ia sudah membaca semua pesanku.
Tapi mengapa tak ada jawaban?
“Lima belas menit lagi kamu nggak muncul, aku balik ya.”
Pesan terakhirku kepadanya lagi-lagi hanya dibaca, lima panggilanku pada telepon genggamnya pun tak ada yang terjawab.
Ia tak datang.. ia secara sengaja tak datang..
Perlahan rasa sakit menjalar di hatiku, memaksa air mata menyeruak dan mengalir di pipiku.
***
Oh, itu dia yang namanya Tita.
Gadis itu menempati meja paling pojok di kafe yang sudah aku pilihkan sebagai tempat pertemuan kami yang pertama. Ia tampak gelisah dan pucat dengan setelan berwarna biru muda membalut kulit putihnya. Tangan kanannya terus mengaduk-aduk cangkir yang berisi minuman, sedangkan satu tangan lainnya menggenggam sebuah hand phone.
Ia pasti sedang menunggu jawabanku atas pesan-pesan yang sudah ia kirimkan padaku.
Aku terus menatapnya dari luar jendela kafe. Aku bahkan masih menggunakan helm-ku dan duduk di atas motor yang kuparkir di halaman samping gedung bernuansa merah itu. Tita tak jelek, meski juga tak rupawan. Yang pasti, aku nyaman berbicara dengannya selama hampir dua bulan ini.
Hanya saja…dia bukan tipe yang aku inginkan. Dia bukan lah yang aku cari dan cocok menjadi pendampingku kelak.
Handphone-ku bergetar lagi, sebuah pesan what’s app muncul di layar berukuran 5″ itu.
“Lima belas menit lagi kamu nggak muncul, aku balik ya.”
Aku sudah yakin dengan keputusanku ini.
Mesin motor kunyalakan dan segera kubersiap meninggalkan parkiran kafe, sambil menatap Tita untuk terakhir kalinya. Pundaknya berguncang, ia sepertinya sedang menangis. Kasihan, ia pikir aku tak pernah datang dan ia pasti akan sangat membenciku setelah hari ini. Tapi itu lebih baik, sebelum ia semakin kecewa.
Hai Sam…apa kabar? Semoga baik-baik saja ya kamu di sana. Aku di sini sehat, itu juga kalau kamu mau tahu sih.
Eh, pasti kamu bingung deh kenapa aku tiba-tiba kirim email. Sama!! Sebenarnya aku juga bingung mau nulis apa 😐
Tapi kan kamu sendiri yang kasih alamat email, kamu tulis di atas tisu karena enggak ada selembar kertaspun di sekitar kita. Artinya, aku boleh dong ya menghubungi kamu lagi 😀
Sebelumnya, aku mau bilang terima kasih atas jamuan yang kamu berikan seminggu yang lalu di Bali. Kamu baik banget mau menemani jalan-jalan. It was fun!
Ingat enggak, di malam terakhir aku di Bali dan kita dinner di Jimbaran? Kita ngobrol ngalor-ngidul sampai jam 11 malam dan di tengah obrolan kamu menanyakan, “Kamu punya pacar?”
Saat itu aku cuma tersenyum sambil menggelengkan kepala. Eh, kamu malah bilang begini, “Tapi ada yang sedang ditaksir kan?”
Lagi-lagi aku menggeleng.
Padahal saat itu aku berbohong dan rasanya enggak enak banget, makanya aku putusin untuk ceritain yang sejujurnya sama kamu. Kamu mau kan ya dengerin curhatan aku? Aku anggap mau ya… :p
Sebenarnya, setahun belakangan ini pikiran dan hatiku sudah diisi oleh seorang pria.
Aku pertama kali bertemu dengannya di lift kantor. Pria itu pegawai baru di kantorku. Sehari sebelum ia bergabung, kabar kerupawanan wajahnya sudah tersebar di antara kaum perawan kantorku. Semua wanita, tak terkecuali aku enggak sabar ingin berkenalan dengannya. Dan beruntungnya aku, ketika di pagi hari terlambat masuk kantor malah bisa terjebak dalam lift yang sama dengannya. Berdua saja. Cieee. (Loh kok, ciee?)
Akupun langsung memanfaatkan kesempatan emas untuk bisa berkenalan dengan si tampan itu. Saking kelunya bibirku, saat itu aku yang bingung mau bilang apa malah hanya bisa bilang, “Eh kamu ke lantai 6 juga? Kok enggak pernah lihat? Ah iya, kamu kan anak baru di marketing ya?”
Dia hanya membalas dengan senyuman yang memamerkan barisan giginya yang rapih. Tapi itu cukup membuat dadaku berdebar dua kali lebih cepat, perut seperti tertohok, dan lutut kakiku terasa lemas. Ternyata, cinta pada pandangan pertama itu ada J
Aku yang grogi, begitu pintu lift terbuka segera melangkah keluar. Padahal itu masih lantai 5! Sadar-sadar, pintunya sudah menutup dan dia diam saja. Sebel banget, kan malu karena salah lantai. Lagipula kan tadi aku sudah bilang kalau sama-sama keluar di lantai 6. Mestinya kan dia mengingatkan aku 😦
Sejak saat itu, setiap bertemu di kantor atau di kantin dia selalu tersenyum padaku. Mau tahu rasanya? Senang pake banget! Aku berharap ada kesempatan bisa mengobrol dengannya, tapi mana ada sih anak Audit yang pernah main ke ruangan Marketing? Udah kayak anjing dan kucing begitu, enggak pernah akur. Akhirnya aku terima hanya bisa mengamatinya dari kejauhan dan menyimpan sendiri rasa ini, sambil menunggu waktu yang tepat untuk bisa lebih mengenalnya.
Setelah hampir setahun menunggu, akhirnya aku berhasil mendekati anak marketing juga. Melalui dia, aku minta dipertemukan. Untungnya ia mau membantu dan berjanji akan mengajak aku dan si tampan untuk makan bersama sepulang jam kantor.
Tapi apa yang terjadi, aku harus menelan rasa kecewa. Si tampan mendadak tak bisa karena ada acara mendadak. Aku terpaksa harus menunggu kesempatan lainnya yang tak pernah datang, karena si tampan itu tak lama kemudian dipindahkan ke kantor cabang kami ke Bali.
Dan malam terakhir ia di Jakarta aku menangis. Iya, menangisi kepengecutanku yang hanya bisa menjadi pengagum rahasia dan harus menerima kemungkinan kami tak akan pernah bertemu lagi.
Hari berganti hari, sampai sebulan setelah kepergiannya aku mendapat tugas dinas untuk mengaudit kantor cabang Bali. Mendengar kabar itu, serta merta membuatku berteriak saking senangnya. Berarti masih ada kesempatan untuk aku bertemu dengannya lagi. Dan aku sudah bertekad di Bali nanti tak akan ragu untuk mencarinya.
Ternyata ia mengenaliku. Untuk pertama kalinya kami bisa saling mengobrol. Karena tak mengenal siapapun di kantor cabang Bali itu, aku memintanya untuk menemaniku makan siang. Guess what? Dia malah menawariku untuk menemani berjalan-jalan di Bali. I’m a very happy girl!
Karena kesibukannya, dari total 3 hari aku di Bali, si tampan itu hanya bisa menemani di malam terakhir saja. Tapi itu cukup bagiku. Dengan sebuah motor, ia membawaku menelusuri pantai mulai Kuta dan berakhir di Jimbaran.
Kamu tahu Sam, tak pernah aku merasa sebahagia malam itu. Aku sadar, untuk kedua kalinya telah jatuh hati pada orang yang sama. Tapi lagi-lagi aku tak memiliki keberanian untuk menyatakan perasaanku. Ragaku kembali ke Jakarta, hatiku tertinggal di Bali.
Aku tetap ingin menyimpan rasa ini, sampai hilang dengan sendirinya. Setidaknya, itulah yang kuharapkan. Tapi aku malah tak bisa berhenti memikirkan dan merindukannya. Sampai pada satu titik aku merasa hatiku lelah terus-terusan memendam rasa.
Kuputuskan untuk menyatakan perasaanku padanya. Itu satu-satunya cara untuk mengurangi beban hatiku. Aku tak perlu takut lagi akan apapun jawabannya. Jika memang tidak, malah hatiku tak penasaran lagi dan bisa segera move on. Ya kan?
So, here I am, Sammy. Telling you that I love you, sejak pertama kali kamu tersenyum di dalam lift. Dan semakin bertambah sejak di Jimbaran malam itu, saat menatap mata bulatmu yang dengan antusias menceritakan tentang dirimu. I’ve been waiting for that moment for a year, and I thank God for giving me a chance to getting closer to you.
And now, I seek another chance to be with you.
Love,
Sally.
Sally membaca surat elektroniknya berkali-kali, sebelum akhirnya yakin untuk mengirimkannya kepada Sammy, pria yang ia cintai selama ini. Ia berdoa dalam hati dan memasrahkan apapun jawaban yang akan diterimanya.
Dengan gemetar, ditekannya tombol enter. Lalu email itu pun terkirim.
Tidak sampai dua detik, sebuah email baru mengisi inbox-nya. Sebuah email yang judulnya membuat Sally merasa kesal, sekesal-kesalnya.
Mail Delivery Subsystem
Delivery Status Notification (Failure)
Dilihatnya lagi lembaran tissue yang bertuliskan alamat email pria itu. Sally tak salah, seluruh hurufnya sudah tepat dan tak ada yang terlewatkan. Berarti, si Sammy lah yang salah menuliskannya.
Sial!
Sally menjedotkan kepala ke atas keyboard laptopnya. Bahkan untuk mengungkapkan cinta saja, sepertinya ia tak memiliki kesempatan itu.
Sejumput cahaya menyeruak ke dalam kegelapan dan memaksa mataku untuk membuka perlahan. Butuh penyesuaian dengan sinar yang menusuk mataku sepersekian detik, sampai akhirnya pandangan samar-samar di depanku menjadi jelas.
“Aku di bawa kemana ini?” tanyaku dalam hati. Sementara tubuhku masih meringkuk di antara botol-botol besar yang ada di ruangan ini. Bau alkohol menyengat dari segala sudut menggelitik hidungku. Aku sudah hafal dengan baik botol berisi alkohol ini, yang biasanya juga ada di gudang rumah Ayah.
Aku mencoba untuk membangunkan badan mungilku sendiri, sedikit mengulet dan ah, sakit rasanya seluruh sendi ini. Ini pasti karena semalaman aku harus berbaring tanpa alas. Dengan susah payah aku berdiri sambil mengutuki kebodohan fatal, sampai aku bisa terjebak di sebuah mobil box yang berisi puluhan botol alkohol.
Masih jelas kuingat kemarin sore, aku sedang tertegun di depan halaman rumah. Senja, tiupan angin, dan daun yang gugur dari pohon di halaman mendukung suasana hatiku yang dilanda gundah. Penyebabnya adalah dia, si tampan, lagi-lagi bersikap cuek padaku. Entah sudah berapa kali ia berlaku seperti ini, mungkin kali itu sudah puncaknya sampai aku kesal dan mengambek padanya.
Lalu mobil box yang sering datang seminggu sekali ke rumahku ini muncul dan berhenti tepat di depan pagar. Meski rutin, tapi supir yang mengendarainya jaranglah sama. Jadi aku pun malas berbasa-basi padanya. Biasanya aku cukup memperhatikan dari balik jendela, supir kendaraan itu mengeluarkan beberapa botol dan menyerahkannya kepada Ayah. Ia juga membawa beberapa lembar kertas untuk Ayah tandatangani. Lalu si supir akan pergi setelah menerima uang tips dari Ayah.
Alkohol dalam botol-botol itu dibutuhkan Ayah dalam pekerjaannya meramu parfum buatan sendiri. Setelah pensiun, ia mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual parfum tiruan. Memang tak begitu banyak pesanan yang datang, tapi cukup dapat mengisi waktu Ayah sehari-hari.
Kemarin sore itu, karena aku ngambek sama si tampan, saat melihat pintu belakang mobil box membuka akupun dengan lincah melompat dan masuk ke dalamnya. Bodohnya aku, tak pernah berpikir bahwa mobil itu hanya mampir sebentar di rumah Ayah lalu pergi. belum sempat aku turun, pintu mobil sudah menutup dan terkunci.
***
“Miaaaaawww.”
Aku mengeong saat mendarat setelah melompat keluar dari mobil box. Aku tahu sebaiknya tetap berada di dalam mobil. Seminggu lagi mobil ini juga akan membawaku kembali ke rumah Ayah. Tapi aku lapar, sejak kemarin sore perutku belum terganjal makanan. Biasanya, aku dan si tampan makan bersama lalu setelah kekenyangan kami pun tidur melekuk berduaan.
Ah, aku kangen si tampan, seekor kucing jantan ras garfield dengan bulu coklat keemasan. Ia tampan sekali. Sedangkan aku, seekor kucing betina ras kampung yang sangat tidak menarik. Seluruh tubuhku dipenuhi bulu hitam, tak sedikitpun warna lain terselip di situ. Kami berdua dipelihara oleh Ayahku sejak kami sama-sama berusia 3 minggu, dibeli dari sebuah pet shop. Entah apa yang membuat Ayah memilihku. Jarang sekali ada yang menggemari kucing hitam.
Aku pun kangen Ayah, kangen dielus tangannya yang kasar. Dia memanggilku si manis. Kasihnya tak berbeda antara aku dan si tampan. Bahkan kami berdua diberi keranjang tidur yang sama. Enam bulan tumbuh dan bermain bersama si tampan, perasaan sayang ini pun muncul. Aku jatuh cinta padanya, tapi ia hanya menganggapku teman. Siapa bilang friend-zone hanya terjadi pada manusia?
Aku semakin was-was saat tetangga sebelah rumah, memiliki kucing persia betina berwarna abu-abu. Ya aku akui dia cantik menggemaskan. Pantas saja si tampan sering mondar-mandir di depan pagar sambil menggoyang-goyangkan ekornya, pasti sedang mencuri perhatian si abu-abu gatal itu. Kalau sudah begitu, aku akan memaksa si tampan masuk dan bermain di dalam rumah. Iya, aku sadar aku bukan siapa-siapanya, jadi kenapa harus inscure?
Aku menyesal, kecemburuanku membuatku bertindak tolol sampai terbawa ke tempat ini. Di mana ini?
Dari pantat mobil aku berjalan beberapa langkah ke arah sebuah rumah. Mobil box diparkir 2 meter dari rumah itu. Dapat kulihat supir yang kemarin mengantar botol berbicara dengan seorang pria tua. Lebih tua dari Ayah sepertinya. Wajahnya sangat memperihatinkan, dan lebih banyak menunduk. Ia menyerahkan botol-botol kosong kepada si supir. Karena aku penasaran dengan isi pembicaraan mereka, aku mendekat untuk menguping.
“Ini saya kembalikan botol-botolnya, ke depannya saya gak pesan lagi Mas. Usaha saya sementara berhenti dulu, gak ada modal.” ucap Pak tua itu dengan lirih.
“Oh gitu. Baik Pak, saya turut prihatin. Sabar ya, Pak. Kalau begitu saya pamit dulu. Terima kasih sudah bekerja sama dengan CV kami.” Si supir undur diri dari Pak tua itu dan segera berjalan ke arah mobil.
Apa yang baru saja kudengar membuatku berpikir untuk segera kembali dengan cepat ke dalam mobil. Tapi belum juga aku memutar badan, tiba-tiba saja sepasang tangan menangkap tubuhku, mengangkat, dan kemudian mendekapku ke tubuhnya. Aku berusaha memberontak, namun pegangannya sangat erat.
“LEPASKAN AKUUUUU! Kumohon. Mobilnya tak akan kembali lagi ke sini, aku harus ke mobil itu. Aku mau pulaaaaaang.”
***
“Aaaaarrrrrrrr.” Aku menunjukkan taringku, menandakan amarah ke arah wanita yang sudah mengambilku tadi.
Wanita ini pantas kubenci, karena ulahnya aku tak bisa pulang ke rumah Ayah lagi. Tak akan pernah. Selamanya.
Ia membalas tatapan bola mata biruku yang sinis padanya dan berkata dengan suara berat, “Hai manis, jangan marah dong. Sudah lama aku menginginkan dirimu. Kucing hitam betina, akhirnya aku menemukanmu.” Aku memperhatikan penampilannya dari ujung rambut sampai kakinya. Aku pernah melihat penampilan seperti ini di tayangan telenovela yang sering ditonton oleh istri Ayah, yang kupanggil Mama. Mama pernah menyebut sesuatu seperti wanita gipsi.
Ya, seperti itulah kira-kira dandanan wanita ini.
Setelah tadi menculikku, ia menggendongku pergi. Suara langkah yang terburu-buru, berpacu dengan deru nafasnya. Aku mencoba memperhatikan sekelilingku, aku harus tahu sejauh apa wanita ini membawaku dari tempat si Pak tua tadi. Ternyata tak begitu jauh, kami masih berada dalam jalan yang sama di belakang sebuah gedung tua yang cukup luas.
Aku melihat sepatu boots coklat yang compang-camping itu berhenti tepat di depan selembar kain yang terhampar di atas jalanan. Rupanya kain itu adalah alasnya duduk. Masih sambil menggendongku, ia menjatuhkan badannya di situ.
“Home sweet home, kitty.” Ia mengelus kepalaku. Aku tak menyukainya, kupalingkan wajahku karena tak ingin bertubrukkan mata dengannya.
“Ini lah tempat tinggalku. Di lapak ini, tempat tinggal sekaligus tempat menjalankan usaha ramalku.”
Ia menghela nafas panjang. “Kamu tau, sudah beberapa minggu usaha ramalku sepi. Tak ada pelanggan yang datang. Mungkin mereka bosan dengan ramalan tarot. Padahal, aku ini dulu cukup terkenal, si wanita gipsi peramal di Kota tua.”
Ada kepercayaan diri yang memudar terdengar dari suaranya yang merendah. Raut mukanya mengingakanku pada Pak tua tadi. Oh aku mengerti, begini toh muka manusia saat tak punya uang. Tiba-tiba aku merasa iba kepada wanita ini.
“Tapi kamu akan mengembalikkan keberuntunganku. Aku yakin kamu bukan kucing biasa. Kamu adalah kucing yang dikirim alam sebagai pertanda, bahwa ilmu hocus pocus-ku akan bertambah kuat.” Lalu ia tertawa dan terus tertawa tanpa henti.
Aku hanya dapat berteriak dalam hati, “Ayah tolong akuuuuu.”
***
Hari demi hari aku lewati tanpa sedetikpun si wanita gipsi ini melepasku. Sudah satu bulan sejak ia menculikku dan ternyata ucapannya benar. Usaha ramalnya perlahan bangkit. Setiap harinya ada saja yang berkunjung. Mulai koko tua yang mempunyai usaha di sekitar daerah Kota ini, sampai karyawan bank besar yang jarak kantornya dapat ditempuh dengan jalan kaki dari lapak si gipsi ini.
Aku pun mulai pasrah dengan kondisiku yang terjebak bersama peramal gipsi. Apalagi aku membawa keberuntungan baginya, ia jadi punya penghasilan lagi untuk menyambung hidup. Hal itu dapat mengobati hatiku yang terluka karena kehilangan keluargaku. Aku sadar hidup itu tak selamanya di atas. Aku yang dulu seekor kucing peliharaan dengan makanan dan alas tidur yang terjaga dengan baik, sekarang terlantar di jalanan. Aku bahkan makan sisa makanan yang berhasil dikumpulkan wanita gipsi ini untukku dari warteg pinggir jalan. Sekarang aku benar-benar merasakan menjadi kucing kampung di jalanan. Ternyata, kehidupan di luar rumah Ayah begitu keras.
Ada yang berbeda dengan malam ini dari biasanya, bulan sedang menampakkan wujudnya yang bulat sempurna. Aku menikmati pemandangan ini sambil bersandar di dada si gipsi yang juga berbaring dan menatap langit.
“Bulannya indah ya manis. Itu yang namanya bulan purnama. Pada malam ini, saat bentuk bulan sedang sempurna, biasanya para ahli sihir melakukan ritual pembacaan mantera atau doa. Hal itu untuk menambah kekuatannya.”
Aku tak peduli dengan yang ia katakan, yang aku rasakan saat ini adalah aku merindukan Ayah dan Mama angkatku. Mereka menyayangiku dan aku yakin mereka sangat sedih karena kehilangan salah satu kucingnya.
Lalu si tampan, apakah kucing jantan yang aku cintai dalam diam itu merindukanku? Atau ia tak peduli seperti biasanya, dan tetap berusaha mencuri perhatian si persia cantik itu? Atau jangan-jangan mereka sudah menjadi sepasang sejoli sekarang?
Aku membiarkan perasaan rindu dan pedihku itu berputar dan menari di antara purnama yang bersinar terang malam ini. Jika memang benar ada mantera yang akan berhasil saat ini, aku hanya berharap mantera itu bisa membawaku kembali pulang.
***
Keesokan harinya, saat matahari tepat berada di atas kepala, seperti biasa wanita gipsi ini berjalan menyusuri sepanjang jalan mencari makanan untukku. Lalu aku sadar, ini bukan jalan biasa yang dia lewati. Tapi ini adalah jalan menuju rumah si Pak tua itu.
Aku mendongakkan kepalaku untuk memastikannya. Benar, aku kini melihat si Pak tua dan beberapa orang sedang sibuk lalu lalang di depan rumahnya. Mukanya tak lagi murung.
Si Pak Tua yang melihat kehadiran kami di dekat situ segera menghampiri. Tubuhnya sudah agak membungkuk dan berjalan sangat pelan.
“Anda pasti wanita gipsi yang dibicarakan anak saya. Saya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya.”
Wanita gipsi sedikit bingung dengan ucapan si Pak tua. “Bapak salah satu pelanggan saya? Saya tak mengingatnya.”
“Bukan saya, tapi anak lelaki saya. Ia mengikuti saran anda lalu ia berhasil mendapatkan pinjaman uang dari orang yang tak terduga, sehingga usaha kami bisa kembali berjalan.” ucapnya bersemangat.
Ia kembali melanjutkan, “Dulu, karena sudah lesu, bahkan untuk membeli alkohol saja, material paling murah untuk usaha saja tak mampu. Sunguh memalukan.”
“Saya senang mendengarnya Pak. Semoga keberuntungan menyertai anda.”
Sudut mataku merasakan ada yang datang bergerak ke arah si gipsi dan Pak tua berdiri. Aku pun menengok ke arah itu dan melihat sebuah mobil mendekat. Itu mobil box-nya datang! pekikku. Mobil box yang aku pikir tak akan pernah datang lagi, tepat berhenti sekitar 1 meter di depan rumah Pak tua. Seorang supir keluar dari dalamnya dan berjalan ke arah belakang mobil untuk mengeluarkan beberapa botol alkohol pesanan Pak tua.
Aku tak percaya dengan apa yang aku lihat. Mobil itu adalah harapan bagiku untuk pulang. Tapi bagaimana caranya lepas dari si gipsi ini?
“Saya pamit pergi, Pak.” Lalu si gipsi meninggalkan Pak Tua. Aku masih berada dalam dekapannya sambil memikirkan bagaimana cara kabur dan masuk ke mobil itu.
Si gipsi terus melangkah dan di luar dugaanku, ia berjalan mendekat ke belakang mobil.
Ia mengarahkan wajahku padanya, menatap mataku lekat-lekat dan berkata, “Manis, aku tau yang kamu inginkan. Aku mengambilmu sebulan yang lalu di dekat mobil ini. Kamu memang membawa keberuntungan untukku dan juga orang lain, tapi aku harus mengembalikanmu. Di sini, di tempat segalanya bermula.”
Mataku mungkin saat ini melukiskan wajah memelas kepada wanita di hadapanku. Tak kusangka begitu baik hatinya. Ia menggesekkan hidungnya ke hidungku. Aku tergelak dan kami berdua tersenyum.
Ia menjongkokkan badannya sambil meletakkanku di atas aspal jalan. Ia kembali mengelus kepalaku, “Terima kasih ya manis. Sekarang saatnya pulang.” Ia bangkit dan dengan cepat berlalu dari tempatku berdiri. Ia tak menengok ke belakang lagi, terus melangkah pergi. Aku masih mengawasinya sampai punggungnya lenyap dari pandanganku. Dan akupun siap meloncat masuk ke dalam mobil.
***
Mobil ini tak langsung membawaku pulang, Perlu menunggu satu hari di dalamnya sampai akhirnya aku mengenali udara yang menghambur masuk saat pintu belakang mobil terbuka. Ini aroma rumahku. Aku pun menghambur keluar mobil dan melompat melewati Pak supir yang terpekik kaget. Aku berlari kencang menuju tempat Ayahku berdiri di pintu.
“Maniiiiiis, kamukah itu nak?” Pria ini memelukku kencang dan menciumi kepalaku bertubi-tubi. “Maaa, manis pulang Ma. Aku tak percaya ini. Ayah pikir kita tak akan berjumpa lagi.” Aku bisa melihat raut bahagia di balik mata yang berkaca-kaca. “Kamu tau, si tampan sangat kehilangan kamu. Ia tak bersemangat. Kerjaannya hanya tiduran dan murung. Ayo sana samperin si tampan.”
Si tampan kangen sama aku? Aku melompat dari dekapan Ayah dan segera menuju ke dalam rumah, mencari keberadaan si tampan.
Itu dia, terlihat lesu di atas keranjang tidurnya. Matanya terpejam.
“Miaaaaaww.”
Suaraku membangunkan tubuh gempal keemasan itu. Ia terkejut melihatku saat mata coklatnya terbuka. Mulutnya menganga beberapa saat. Kemudian dengan sigap dan gagah si tampan keluar dari singgasananya, berjalan mendekatiku.
“Meoooong.”
Lalu ia memeluk tubuhku, mengenduskan hidungnya ke hidungku. Lama.
“Aku pikir kamu tak akan pernah kembali. Aku pikir aku sudah kehilanganmu. Dan aku pikir hidupku pun tak ada lagi gunanya tanpamu.”
“Kan ada si persia cantik itu. Kamu kan gak butuh aku.” ucapku manja, sambil menggaruk kumisku dengan kaki kanan. Aku menutupi grogi saat mendengar kata-katanya barusan.
Baru dua minggu yang lalu aku dan dia yang kusebut sebagai kekasih itu, masih bersama memadu kasih dengan bahagia. Setidaknya, aku bahagia. Dan aku pun mengira, dia juga merasakan hal yang sama.
Aku salah. Ah, aku tak tahu salahku dimana. Tiba-tiba saja hubungan kami terasa aneh. Pertengkaran tak bisa dihindari dan kata ‘putus’ terucap dari bibirnya.
Orang bilang, mencintai dengan tulus itu adalah dengan merelakan. Karenanya aku tak menentang kemauannya dan permintaan putus itu aku iyakan, dengan satu keyakinan jika kami berjodoh pasti ia akan kembali padaku.
Ada yang aneh di hari pertama menyandung status jomblo, mengingat keseharianku yang selalu bersamanya. Keinginanku untuk mengetahui kabarnya membuncah, namun akal sehat melarangku untuk menghubunginya. Dia sudah bukan lagi pacarku, logikaku terus mengingatkanku akan hal itu.
Meski begitu, hatiku tetap memegang teguh bahwa dia akan menghubungiku.
Dia pasti kangen.
Dia pasti akan minta balikan.
Benar saja, sebuah pesan kuterima darinya di malam kelima setelah perpisahan kami.
Satu kata panggilannya kepadaku yang cukup membuat jantungku berdegup kencang.
Benarkan apa kubilang, ia tak tahan juga berdiaman denganku lebih dari tiga hari, aku tersenyum dalam hati.
Aku langsung balas pesannya dengan sedikit jual mahal, “Ya, ada apa?”. Ah, tak mengapakan karena aku seolah di atas angin.
Aku merasa gugup menunggu kata-kata yang akan muncul di layar ponselku.
My ex lover is typing…
“Kita kan sempat beli tiket liburan berdua sebulan yang lalu, cancel aja ya. Bisa kamu transfer uang untuk bayar tagihan kartu kreditku secepatnya?”
F**k this! Bagaimana aku bisa lupa aku masih punya hutang padanya?
Ternyata setelah putus, lantas hubungan dua orang kekasih tidak serta merta berakhir. Ada banyak perkara setelahnya yang harus diselesaikan terlebih dulu.
P.s. Kalau masih pacaran, jangan beli tiket liburan berdua jauh-jauh hari. Kita enggak pernah tau masa depan bukan? 🙂
Aku berlari melewati hujan, yang menimbulkan bunyi gemericik akibat sepasang bootsku beradu dengan genangan air. Hujan tiba-tiba saja menyerbu di saat aku sedang menikmati suasana di negeri tanah rendah ini. Ya, tanah rendah, the lower land, atau dalam bahasa Dutch disebut The Nether Land.
Begitulah asal mula bagaimana negeri yang pernah menjajah Indonesia selama 3,5 abad lamanya disebut, The Netherland. Rendah, karena berada sekian kaki ribu di bawah permukaan laut.
Dan aku, berkesempatan untuk mengunjungi ke Amsterdam, ibu kota negara itu. Sayangnya, perjalananku bertepatan dengan musim winter, dimana hampir setiap hari turun hujan.
“Miw…tunggu.” panggil Arin, teman seperjalanku di Amsterdam.
Dia selalu ingin menjadi satu-satunya orang yang memanggilku dengan nama selain Mia atau Mimi, nickname-ku. Dia bahkan pernah mengatakan padaku seperti ini, “Kalau ada lagi yang manggil lo Mimiw, kasi tau ya. Gue cari nickname lain.”
Ada-ada saja travel mate-ku kali ini.
“Buruan, Rin. Kita naik tram aja ya daripada ujan-ujanan.” Suaraku meninggi agar Arin dapat mendengarnya, di tengah hembusan angin dan curahan hujan yang saling bersautan.
Kalau di Indonesia, aku suka berlarian di bawah hujan. Hujan tropis yang hangat dan sejuk dapat mengusir segala gundahku. Romantis sekali. Tapi di Belanda, air yang jatuh mencubiti kulit mukaku sampai sakit rasanya. Tak ketinggalan angin kencang yang membawa udara dingin menembus coat tebalku. Jadi, ketika hujan tiba-tiba datang ya kami harus segera berteduh.
We saved by the bell. Untung saja kami tepat sampai halte dan masih dapat memasuki tram sebelum kereta mini itu melanjutkan lajunya. Jadi nggak harus berteduh lebih lama di halte.
Tram adalah salah satu alat transportasi umum di Amsterdam, selain kereta dan taksi. Tram ini mungkin seperti monorail, kereta mini dengan lintasan 1 rel. Jarang sekali ditemui kendaraan roda empat maupun roda dua yang mengeluarkan polusi asap.
Selain itu, hampir separuh penduduknya menggunakan sepeda. Bahkan di sepanjang jalan, banyak diparkir sepeda. Hal tersebut menyebabkan kota Amsterdam sungguh luar biasa sejuknya.
Hujan membuat tram agak penuh dari biasanya. Setelah menempelkan kartu akses 24 jam seharga 7.5 euro atau sama dengan 93,750 rupiah, aku masuk ke dalam sambil menyapu pandangan ke seluruh isi tram ini mencari kursi kosong. No result found.
Udah mahal-mahal, berdiri pula. Keluhku dalam hati. Cukup mahal memang biaya hidup di Amsterdam. Tak terkecuali transportasi. Untuk dapat menggunakan seluruh alat transportasi umum sepuasnya di Amsterdam, tiket yang tersedia selain one-trip yaitu 1-hour-access, atau 24-hour-access. Hari ini aku membeli yang perhari, sesuai prediksiku seharian akan banyak diguyur hujan. Sehingga tak memungkinkan jika berjalan kaki.
Yasudahlah, yang penting kan enggak kehujanan. Aku mencoba menyenangkan hati sendiri.
Kereta mini yang aku naiki kemudian dengan gesit menyusuri bangunan-bangunan yang berdiri sejak tahun 1600-an ini. Amsterdam memang sangat mempertahankan sejarah. Tata kota yang meski tua, justru membuatnya terlihat unik. Aku sungguh menikmati perpaduan bangunan, kanal, dan kapal kecil yang menghiasi pemandangan dalam kereta. Jadi, meski berdiri, aku tak merasa susah.
Teng. Teng.
Begitu bunyi klakson tram ketika berjalan dan memberi peringatan, agar pejalan kaki maupun pengendara sepeda memperhatikan kereta yang lewat.
Aku sungguh menikmati tram, pemandangan di luar jendela, bunyi, ah segalanya. Sampai-sampai aku tak menyadari ada kursi kosong di belakangku. Yang semula menempatinya baru saja turun di halte tujuan.
“Miw, tuh duduk.” perintah Arin sambil menunjuk ke arah kursi kosong.
Setelah aku duduk Arin menanyakan tujuan kami kepadaku, “Jadi turun di mana? Berapa halte lagi, Miw?”
Biarlah peta yang menjawabnya. Aku mengeluarkan teman kesayangan Dora itu dari tasku. Sekilas, dari sudut mataku aku merasa diperhatikan oleh pria yang duduk di sebelahku. Aku meliriknya, benar saja, dia memang tadi memperhatikanku. Namun ia segera mengalihkan perhatiannya seoalah ketakutan dipergoki.
Tampan. Aku tersenyum ke-GR-an dalam hati.
Tapi aku langsung ingat bahwa di negeri Holland ini banyak beredar copet juga. Dan copet di sini tentu saja ganteng. Aku reflek menutup resleting tasku dengan cepat. Apa salahnya berhati-hati kan.
Aku membuka petaku, dan mencari-cari daerah yang hendak aku datangi. Kami ingin menuju Rijks Museum, di depannya ada tulisan I am sterdam yang terkenal itu. Kami ingin berfoto di manifesto kebanggaan Amsterdam tersebut.
“Rin, tiga halte lagi kita turun ya. Abis itu ganti tram.”
Aku menoleh lagi, pria di sampingku itu kembali memperhatikanku.
Ah, matanya biru dan bening. Ingin rasanya berlama-lama menyelam sampai ke dasarnya. Aku mendadak gugup dan sulit bernapas.
Oh my God!
Akupun kembali berkutat dengan petaku. Aku melihat lagi ke luar tram, kendaraan ini sedang berhenti di halte berikutnya. Dan aku bisa melihat pantulan pria itu dari jendela. Dia memperhatikanku dengan seksama.
Seketika aku merasa kegerahan, padahal tadi sempat menggigil kehujanan. Dengan malu-malu aku menoleh padanya lagi.
Dan kali ini, ia tersenyum. A gentle smile that makes me warm.
Astaga, he’s so damn cute! Mungkin senyuman ter-cute yang pernah kulihat selama tiga hari menjadi turis di kota ini.
Aku merasakan jantung ini mulai berdebar cepat. Aku lirik lagi, ia tersenyum lagi. Aku menunduk lagi. Begitu seterusnya sampai tram kembali berhenti.
Satu halte lagi aku akan turun, jadi aku tidak boleh melewatkan kesempatan baik ini. Ada pria bule tampan dan menggemaskan di sampingku lalu aku harus diam saja?
Tidak, it’s now or never. Aku buang segala ketakutanku dan mengumpulkan segenap nadi keberanian yang aku punya.
Aku menghela nafas sejenak, sebelum akhirnya nekad menanyakan namanya.
“Hi, what’s your name.“
“He’s Sebastian. Isn’t he cute, huh?” ucap wanita yang menggendongnya di pangkuan.
“Yes, he’s charming. I love his smile. Hi Sebastian..” aku menyalaminya dengan memegang tangan mungilnya.
Ia menggelembungkan ludah dari mulut mungilnya, pertanda sedang sangat riang.
Dengan masih memegang jemarinya, aku mengatakan kepada Ibunya sambil tersenyum, “You’re so lucky to have a cute baby like Sebastian.”
Aku ingin juga punya anak bule selucu ini! tekadku dalam hati, tepat sebelum pintu tram terbuka di pemberhentian tujuanku.
“Ya, Yaya kan?” sebuah suara datang dari arah kanan gue. Gue lalu menoleh untuk mencari siapa pria pemilik suara itu. Bersamaan dengan itu, seorang pria muncul dari balik rak buku di sebelah gue berdiri.
“Didit? Astaga! Apa kabar?”
Gue kemudian menyapa pria itu dengan antusias. Bagaimana tidak, kami sudah sekitar tujuh tahun putus komunikasi.
“Baik. Baik. Udah lama juga ya enggak ketemu. Sejak lulus SMA kan ya?” tanyanya, yang gue jawab dengan beberapa kali anggukan. “Bisa-bisanya malah ketemu lagi di toko buku.” lanjutnya sambil tertawa.
Gue mendadak nervous dengan pertemuan tiba-tiba ini. Dan aroma canggung menyerbak di antara kami berdua, yang dulu semasa SMA tidak pernah akur. Ya, 3 tahun sekelas dan semua tau bahwa kami saling tidak menyukai satu sama lain.
“Eh gue buru-buru, Ya. Kapan-kapan kita sambung ngobrolnya. Boleh tukeran kontak? Nomor atau PIN?”
Kami pun bertukar kontak lalu dia meninggalkan gue dengan sebuah lambaian dan senyuman yang ternyata, masih menimbulkan efek tonjokan di perut gue.
Ah Didit, sudah 10 tahun dan selama itu rasa ini mengapa belum juga lenyap?
Sudah dapat diprediksi, pertemuan tadi siang dengan Didit membuat gue kembali terlena dengan kenangan silam saat masih berseragamkan putih abu. Di hari pertama menjadi pelajar SMU, bahkan saat masih memakai seragam SMP selama masa ospek, gue sudah naksir Didit.
Didit yang tampan langsung menjadi idola, baik oleh anak-anak baru maupun para kakak kelas perempuan. Dia tidak begitu pintar sebenarnya, hanya saja berkarisma. Tak heran dia langsung ditunjuk sebagai pemimpin. Pemimpin di kelas, di angkatan, dan di tahun berikutnya terpilih menjadi ketua OSIS.
Didit sangat populer di sekolah gue dulu. Sedangkan gue? Seorang pengagum rahasia yang hanya berani curi-curi pandang kepadanya. Didit juga baik dan ramah. Awalnya dia sering mengajak gue ngobrol. Tapi sayangnya, gue adalah pengecut yang takut perasaan ini diketahui olehnya.
Dan ketakutan akan Didit dapat mengetahui perasaan ini, gue alihkan dengan berpura-pura tidak menyukainya. Dengan terang-terangan gue menentangnya. Gue selalu sinis jika berurusan dengannya. Ketidakcocokan kami ini, sudah menjadi rahasia umum di sekolah. Bahkan setelah saling lulus dan terpisah, gue maupun Didit sama-sama menghindari acara reuni karena enggan bertatap muka.
Ironis. Didit maupun orang lain tidak pernah tau, dibalik kebencian yang gue tunjukkan pada Didit sebenarnya ada perasaan sayang yang tak tersampaikan.
Adalah Lina, teman sebangku gue, satu-satunya yang mengetahui perasaan gue pada Didit. Dan sampai saat ini gue masih aktif berkomunikasi dengannya. Gue langsung menghubungi Lina dan menceritakan pertemuan dengan Didit.
“Liiiiin, guess what? Gue tadi siang ketemu Didit lagi. Ya ampun masih ganteng Lin. Deg-deg-an gue…”
“Eh lo tuh ye ujug-ujug telepon basa-basi dulu kek!” sungut Lina.
“Halah sama lo ini aja pake basa-basi.”
“Terus, kalian labrak-labrakan? Tampar-tamparan? Hahaha.” tanya Lina yang membuat gue ingin mencekiknya.
“Eh buset, ya enggak lah. Tapi aneh juga sih, dua musuh bebuyutan di jaman SMA ketemu lagi dan saling senyum hihi.”
“Ah Lina, jangan ingetin itu lagi. Udah lama woi, rasa-rasa anak SMA masa iya bisa bangkit lagi. Udah kekubur kali.”
Lagi-lagi gue harus bohong. Apanya yang terkubur? Nyatanya, rasa ini perlahan muncul lagi. Atau memang sebenarnya tidak pernah berakhir?
***
Sebuah pesan BBM gue terima. Dari Didit! Setelah pertemuan tiga hari yang lalu itu, dia atau gue sama-sama belum memulai kontak. Sampai akhirnya malam ini Didit menghubungi gue.
Gue enggak menyangka sama sekali, jantung ini langsung berdegup kencang. Mirip seperti yang gue rasakan dulu, ketika bertubrukan pandangan mata dengannya.
Dan layaknya remaja SMA yang sedang jatuh cinta, setelah lewat 10 tahun lamanya, gue kembali merasakan keriangan saat harus berbalas BBM dengan Didit.
Rasa naksir anak kelas 1 SMU itu, sudah berkembang dengan perasaan cinta yang mendalam. Sehingga ampasnya masih tersisa sampai 10 tahun lamanya.
Kini, Didit lagi-lagi mencuri hati gue. Setidaknya malam ini.
Hingga esoknya, esoknya lagi, dan hari setelah esoknya lagi.
***
“Seriusan, Ya? Kalian jadi sering ketemuan sekarang?” Tanya Lina tak percaya saat gue menceritakan perkembangan hubungan gue dan Didit.
“Heh cepat amat Amininnya! Dasar ngarep lo. Ha ha.” Lina menoyor kepala gue. Kami sedang menikmati makan malam bersama.
“Inget nggak, Lin. Dulu gue pernah berjanji sama diri gue sendiri. Kalau suatu saat akan menyatakan perasaan ke Didit. Tapi di saat gue udah enggak ada feeling lagi sama dia.” Lina menyimak kata-kata gue.
“Gue ada niatan mau bilang gini: Eh Dit, dulu gue pernah suka sama lo tau. Tapi karena takut enggak terbalas, gue pilih pura-pura jutek.” lanjut gue.
“Apalagi kan Lin, dulu pas jaman naksir dia kan sambil dengerin lagu Selena yang Dreaming Of You. Memotivasi gue untuk ngaku ke Didit.”
So I’ll wait till the day for the courage to say how much i love you.
“Terus? Kapan mau confession? Ya udah geura atuh, ceu. Siapa tau jadi. Gue dukung.”
***
“Halo, Ya. Long time no see.” sapa Andi sambil mengambil posisi duduk di depan gue. Andi ini teman SMA gue juga. Sepanjang yang gue tau, Andi adalah sahabat terdekat Didit. Dua hari yang lalu Andi tiba-tiba menghubungi gue dan meminta bertemu. Katanya ada yang ingin disampaikan. Dia meminta gue enggak memberitahukan Didit perihal rencana pertemuan kami.
Mungkinkah ini semacam konspirasi mereka? tanya gue dalam hati. Mengapa setelah kedekatan gue dan Didit akhir-akhir ini kemudian muncul Andi, sahabatnya. Gue masih bingung dan menebak-nebak sendiri apa yang akan disampaikan Andi.
“Apa kabar, Ndi? Kok tumben tau-tau ngehubungin gue? Ada hubungannya dengan Didit kah? tembak gue.
“To the point banget, Bu. He he.” Andi menghela nafas sesaat. Tapi, iya benar. Apa yang akan gue sampaikan, ada hubungannya dengan Didit.” lalu Andi mengeluarkan sesuatu dari tasnya.
Kalau tidak salah lihat, sepertinya sebuah undangan…pernikahan. DEG. Belum memegang dan membukanya saja gue merasa lemas. Perasaan gue mendadak enggak enak.
Andi menyerahkan kertas beramplopkan emas itu sambil mengisyaratkan agar gue membacanya. Ada nama gue tertulis di bagian depan. Oh shit! Untuk gue. Perasaan ini semakin enggak karuan.
Gue kemudian membaliknya sambil menahan napas. Nama panggilan pengantin yang tertera di situ sangat akrab sekali buat gue. Orang yang gue sayang bertahun-tahun lalu dan kini hadir lagi mewarnai hidup gue.
Didit dan seorang wanita lain, akan menikah DUA HARI LAGI.
Dunia gue yang semula berwarna karenanya, berubah gelap.
Ternyata Didit cukup pengecut dengan tidak berani menyerahkan langsung undangan ini pada gue. Dia meminta Andi yang menjadi penghubung di antara kami.
“Saat kalian bertemu lagi, Didit sedang mempersiapkan pernikahannya. Dia mengakui juga terbawa suasana nostalgia setelah pertemuan itu. Mengingat…sebenarnya dulu dia naksir lo, Ya.” penjelasan Andi ini membuat gue tersedak. Seolah dapat menangkap kebingungan gue, Andi melanjutkan ceritanya.
“Awalnya, dia bete. Kenapa sih Yaya kok sinis banget. Disaat cewek-cewek lain memujanya. Dulu si Didit itu curhat melulu tentang lo, Ya. Gue sih terkekeh aja. Gue cuma ngingetin kalau mungkin itu pertanda naksir. Gue suruh dia deketin lo. Dia mau coba, tapi lo terlalu angkuh di depannya.”
Oke. Ini masih sore kan. Cerah lagi. Terus kenapa tiba-tiba ada ada petir begini barusan?
Gue masih mencoba mencerna perkataan Andi dengan tenang. Jadi sebenarnya waktu SMU itu, gue dan Didit yang saling menunjukkan ketidaksukaan satu sama lain, sebenarnya..
Ah, tidak. Gue merasa menyesal. Teramat sangat. Gue bodoh sekali, ya Tuhan. Mengapa dulu bisa-bisanya gue memperlakukan orang yang gue sayang dengan tidak baik. Menyia-nyiakan perasaan dan membiarkannya terkurung selama bertahun-tahun. Tanpa pernah sedikitpun terpikirkan, bahwa gue bisa saja memiliki hati seorang Didit. Didit gue!
***
“Gue harus menelpon Didit dan mengaku tentang perasaan gue, Lin. Now or never. Masih ada waktu untuk mendapatkannya kan?” Selesai pertemuan dengan Andi tadi dan sampai di rumah, gue langsung menelpon Lina. Gue meminta persetujuannya akan ide gila yang akan gue lakukan. Malam ini juga.
Kalau gue pernah bertindak bodoh sepuluh tahun yang lalu, maka kali ini adalah kesempatan gue untuk memperbaikinya. Untuk merenggut kembali hak memiliki hati Didit yang seharusnya terjadi sejak beberapa tahun silam.
Lina mendukung rencana gue sepenuhnya. Tapi tidak malam ini. Menurut Lina, jangan tergesa-gesa. Pikirkan baik-baik dulu, kalau sudah yakin maka lakukan esok hari. Gue menuruti kata sahabat gue itu. Alhasil, malam ini gue tidak bisa tidur memikirkannya. Sangupkah gue mengatakan kepada Didit, tentang cinta gue yang begitu dalam dan berhasrat untuk memilikinya? Lalu setelah mendengarkan pengakuan gue, apa yang akan terjadi?
Late at night when all the world is sleeping. I stay up and think of you. And I wish on a star, That somewhere you are thinking of me too.
***
30 Mei 2010
“Hai, Ya. Terima kasih sudah datang.” ucap Didit sambil menyalami gue di atas pelaminannya. Tangannya dingin sekali, dia lama memegang tangan gue sampai gue sendiri yang harus melepaskannya. Di sebelahnya berdiri seorang wanita, yang sudah resmi menjadi istri Didit. Pujaan hati gue.
Gue mengurungkan niat untuk menyatakan perasaan gue. Karena tak sampai hati, jika aksi nekat gue kemudian hanya akan menambah beban pikiran dan perasaan Didit.
Dan rupanya, hari yang gue tunggu untuk mengungkapkan sayang tidak pernah kunjung datang. Tapi sepertinya, hari ini sudah gue tunggu sejak pertama kali gue sadar memiliki perasaan kepada Didit. Sepuluh tahun silam, bahwa gue ditakdirkan untuk berdiri di atas pelaminan ini. Untuk mengucapkan selamat kepada Didit dan mempelainya.
Kita masih disini Lepaskan semua untuk mengerti Dan bila semua terhenti Biarkan aku tetap menanti
“Sebuah buku?”
“Buku jerapah, begitu seharusnya buku ini disebut.”
“Pasti isinya gambar-gambar jerapah ya? Ha ha ha.”
“Ha ha ha. Enak aja. Itu loh cover depannya bergambar jerapah, jadi namanya buku jerapah. Isinya sih…”
“Apa?”
“Buka aja dan baca sendiri. Eh tunggu, bacanya dalam hati ya. Aku malu…”
“Justru aku akan membacanya keras-keras. Ha ha ha.”
“Jangan! Ah kamu tuh selalu begitu. Mana pernah menuruti kata-kataku.”
“Ha ha ha. Bodo!”
“Ha ha ha.”
“Baiklah aku buka, tapi aku tetap akan membacanya dengan suara ya. Pelan aja kok.”
“The Story Of Us…hmmm..semacam diary?”
“Bukan sekedar diary. Di buku ini hanya kutulis kejadian-kejadian lucu yang pernah kita berdua alami. Sengaja hanya ditulis bagian yang membahagiakan saja. Only open up when I’m down. Ketika sedang sedih, aku akan membacanya dan mulai tersenyum. Bahkan tertawa. Ayo baca cepat.”
“Baiklah. 5 Juni 2010. 8 PM. Sebuah notifikasi kuterima di blackberry-ku. Ternyata itu kamu! Akhirnya kamu chatting-in duluan setelah aku menunggumu dari kemarin. Seperti biasa, kamu mengeluhkan yang harus lembur saat orang-orang sedang liburan weekend. Mencoba menghiburmu, akupun dengan tingkat kepercayaan diri meningkat 50%, mengirimkan foto penambilan baruku. Rambut keriting. Lalu komenmu hanya singkat. Gue suka lihat lo senyum.”
“Oke itu kan lagi lembur, capek. Foto yang aku lihat kayaknya fatamorgana deh. Aku pikir itu foto Megan Fox. Ya jelas suka. Ha ha ha.”
“Kyaaaaa! Reseeeee. Ha ha ha.”
“21 Juni 2010. 10 PM. Was it a date or what? Akhirnya kamu ajak aku pergi di malam minggu, just the two of us. Alasannya minta ditemenin beli modem! Makanya kita nge-date di Ambas! Oh yeah, nice try! Kamu bilang tadi, kita kayak orang pacaran aja berduaan. Dan bodohnya, kenapa aku tadi cuma tertawa! Itu kamu mancing kan?”
“Eh siapa bilang mancing. Dulu itu cuma bercanda tau. GR banget sih. Ha ha ha.”
“Hah! Kamu tuuuh. Ha ha ha. Itu masih ada lanjutannya, the best part-nya belum…”
“Setelah selesai menyantap pizza yang akhirnya kamu habiskan sendiri. Maaf ya, aku jaim. Kita pun berbincang cukup lama. Kamu benar-benar membiusku. Aku betah dibuat berlama-lama denganmu. Dan ketika tiba saatnya kamu harus mengantarku pulang, aku sedikit tak rela. Dan kenapa kamu membawa helm bukan SNI! Kita jadi ditilang polisi kan tadi.”
“Ha ha ha ha. Aku ingat ini. Ha ha ha. Ya ampun, memalukan. Sialan tuh polisi. Karena enggak ada uang kecil kan aku bayar 50 ribu tuh. Kampret.”
“Ha ha ha. Meski sudah setahun lewat, aku enggak bisa lupa. Lucu banget!”
“Aku lompat-lompat aja ya bacanya. Banyak banget, bisa-bisa sampai kafenya tutup belum kelar juga nih diary dibacanya. Ha ha ha.”
“Lebay!”
“Nah ini lucu. Kejadian ban motorku bocor sampai dua kali. Kamu sih gendut. Enggak kuat kan ban-nya. Ha ha ha.”
“Heh! Enak aja. Itu dasar aja si abang di tambal ban yang pertama enggak becus. Jadi bocor lagi kan. Tapi jadinya kita berdua jalan menelusuri trotoar gitu. Romantis ya.”
“Romantis apanya? Parah itu. Ha ha ha. Oke, lanjut baca.”
“Hmmm boneka jerapah. Kamu senang banget ya sama jerapah yang aku kasih? Itu kan biasa. Lagipula koleksi jerapah kamu sudah banyak banget dan lebih bagus. Tau enggak, itu kan murah. Dan yang beliin si Mamah, aku minta tolong dia cari. Males banget cowok-cowok keliling mall cari boneka. Jerapah pula. Dari dulu aku sudah mikir kok hobi kamu aneh banget. Biasanya cewek suka babi. Ha ha ha.”
“What? Jadi selama ini aku kena tipu kamu? Ish, kenapa enggak cerita yang sebenarnya sih.”
“Nih aku cerita. Ha ha ha.”
“Cubit nih. Ha ha ha.”
Kita tertawa kita bicara Untuk merasakan tentang kita
“4 September 2010. Hari jadi… “
“Kok berhenti bacanya?”
Dan terlepas kita terdiam Untuk melupakan
“Enggak kerasa ya, waktu cepat berlalu.”
“Dan kamu masih saja diam.”
“Kamu menuntut jawaban apa lagi?”
“Aku tak ingin berpisah darimu.”
“Siapa yang memintamu pergi? Tetaplah di sampingku.”
“Untuk apa aku tetap di sampingmu, jika tak dapat memilikimu. Kamu pikir aku dapat bertahan dengan segala perih yang kurasa ini?”
“Memiliki? Untuk apa memiliki jika pada akhirnya kita berdua pasti berpisah. Ah kumohon jangan menangis. Aku enggak bisa melihatmu menangis.”
“Aku sayang kamu, sungguh. Dan penderitaan hati ini, mungkin hanya dapat berakhir dengan memiliki mu seutuhnya.”
“Sudahlah. Kita seharusnya enggak membahas ini lagi.”
“Diam lah terus, tapi waktu tak bisa menunggu. Simpanlah buku jerapah ini. Suatu saat kamu merindukanku, bacalah lagi. Kuharap kenangan kita di buku ini dapat membuatmu kembali padaku.”
“Sudahlah….”
“Baca dan tertawalah. Tapi kamu hanya akan tertawa sendiri. Karena tak akan ada lagi kita. Aku tak bisa terus di sampingmu. Bersamamu, sampai kamu menemukan orang lain…yang seiman.”
“Aku tau kamu tidak mempermasalahkan perbedaan ini, tapi buatku penting. Maafkan aku, Mei…”
“Aku pergi sekarang. Jaga buku jerapah ini baik-baik ya.”
Waktu terus berlalu Tinggalkan kita masih membisu Wajahmu tetap begitu Biarkan semua tetap membeku
***
Jakarta, 28 Juli 2012.
Sebuah kisah tentang dua insan yang pernah tertawa bersama. Terinspirasi dari lagu ‘Kita Tertawa’ oleh Peter Pan. Untuk #CerpenPeterpan lainnya silakan cek blog Wira Panda.
“Kenapa ngga mau mencobanya dulu?” ucapnya sambil terisak.
Argh, wanita ini sungguh keras kepala. Pake acara menangis segala. Gue paling ngga bisa lihat wanita menangis sebenarnya. Tapi entah sudah berapa kali dia menitikkan air matanya di depan gue. Dan untuk kesekian kalinya gue ngga juga merasa iba. Gue sendiri heran mengapa hati gue ngga tergerak sedikitpun akan kesungguhan wanita ini. Gue kasihan padanya. Cintanya setengah mati sama gue. Sedangkan gue? Tidak memiliki perasaan apapun padanya.
Sudah setahun lamanya ketika pertama kali gue menolak cintanya. Tapi dia tetap gigih mengejar gue. Tetap setia bertahan menjadi teman gue. Bukan gue yang meminta loh, dia sendiri yang dengan suka rela melakukannya. Atas dasar ‘ngga enak’ ya gue pun tetap memperlakukannya sebagai teman baik.. Tapi kalau kebaikan gue diartikan terus-menerus olehnya sebagai harapan, lama-lama gue bingung juga.
Jujur, gue menikmati rasa sayangnya itu. Disaat gue susah, dia toh selalu ada buat gue. Bangga lah gue punya fans setia semacam dia. Tapi sebagai pria dewasa normal pada umumnya, gue juga ingin mengejar wanita. Wanita yang ingin gue sayang. Dan sayangnya, itu bukan dia. Dia yang kini menangis tersedu di hadapan gue karena cintanya ditolak untuk ke sekian kalinya.
Gue keluarkan sebatang rokok dari saku kantong lalu membakar ujungnya dengan korek api. Kondisi seperti ini membuat mood gue rusak. Dan hanya rokok yang dapat menyelamatkan ketegangan gue. Gue tarik satu hisapan panjang lalu mendongakkan wajah ke atas. Gue memainkan asapnya di dalam mulut sebelum menghembuskannya ke udara. Dari sudut mata gue bisa tau kalau wanita itu sedang memperhatikan gue. Gue melirik ke arahnya. Tak ada lagi air mata di wajahnya. Tersisa hanya lengkungan tipis bibirnya. Dia sedang tersenyum.
“Udah nangisnya? Kok sekarang senyum?” tanya gue yang terdengar cukup galak.
“Gue suka lihat gaya lo ngerokok. Makin jantan deh.” ucapnya sambil terkikik.
“Gak usah ngerayu. Kata-kata begitu doang ngga lantas bikin gue nerima cinta lo juga.” kata-kata gue langsung merubah mimiknya dari senyum menjadi semburat kesedihan. Sebelum dia mulai menangis lagi sebaiknya gue segera ajak pulang.
“Udah malam nih, makin sepi juga nih taman. Yuk, gue anter pulang.”
Sepanjang perjalanan mengantarnya pulang kami saling diam. Gue geser spion motor sedikit agar dapat memperhatikannya yang duduk di boncengan motor gue. Astaga, dia menangis lagi. Ah, bagaimana gue bisa berkonsentrasi mengendarai motor kalau begini. Ada ketakutan luar biasa kalau-kalau wanita yang sedang rapuh ini terjatuh dari motor gue.
Diam-diam aku berdoa. Mengapa Engkau membawanya masuk ke kehidupanku, Ya Tuhan? Sungguh aku sulit menentukan sikap menghadapi semua ini. Setiap jiwaku sepertinya ingin mati saja ketika melihatnya menangis. Beban yang kurasa sungguh berat karena tak mampu membalas cinta dan kebaikannya. Sangat ingin aku memantaskan diriku untuknya yang sudah dengan setia menantiku. Sudah kucoba dan tak bisa. Lalu apa yang harus aku lakukan? Mencintanya aku tak sanggup tapi meninggalkannya aku tak mampu.
Tiba di halaman depan rumahnya, tanpa banyak bicara dia menyerahkan helm kepada gue. Dia lalu melangkah pergi menuju pintu pagar dan membukanya. Bunyi decitan kunci dibuka terdengar memecahkan kesunyian malam ini. Dia membalikkan badan ke arah gue lalu berkata, “Thanks ya. Untuk semuanya. Bye.” Sambil mengusap pipi dengan punggung tangannya, dia pun membalikkan badan lagi.
Gerakannya yang beberapa kali membalikkan badan, menghapus air mata, mengunci pagar, lalu berjalan memasuki rumahnya terlihat anggun sekali. Dia layak mendapatkan pria yang tepat. Yang dapat mencintainya. Gue pasang kembali helm dan menstater motor gue. Bunyi raungan mesin pun mengiringi laju kendaraan roda dua yang meninggalkan rumahnya.
Doa sekali lagi kupanjatkan pada Tuhan, menemani perjalanan pulang di malam ini. Ya Tuhan, jangan biarkan dia menangis lagi.
Cukup jelas kan doa gue? Gue ingin dia tidak menangis lagi. Bukan menjauhi gue. Karena gue belum siap ditinggalkan olehnya.
Setelah malam itu, dia memutuskan segala komunikasi dengan gue. Dia benar-benar berusaha untuk melupakan perasaannya. Melupakan gue. Lalu mengapa gue harus kehilangan? Bukankah ini yang sejak awal gue inginkan. Bahkan gue pernah mencoba menjauhinya beberapa kali.
Selang beberapa hari tanpa kehadirannya, ada rasa gamang gue rasakan. Tapi nyali gue sangat ciut untuk menghubunginya. Ngga sanggup untuk menghadapinya. Sudahlah, gue tidak ingin mengganggunya lagi.
Sekarang, biarlah gue jalani kenyataan menjadi seorang stalker yang mengamati timeline-nya. Ya, membaca tweet-nya diam-diam karena dia sudah block account Twitter gue.
Melepaskanmu adalah bukti ketulusanku mencintaimu.
Gue baca berkali-kali kata demi kata.
Melepaskanmu adalah bukti ketulusanku mencintaimu.