Hitam Manis

Sejumput cahaya menyeruak ke dalam kegelapan dan memaksa mataku untuk membuka perlahan. Butuh penyesuaian dengan sinar yang menusuk mataku sepersekian detik, sampai akhirnya pandangan samar-samar di depanku menjadi jelas.

“Aku di bawa kemana ini?” tanyaku dalam hati. Sementara tubuhku masih meringkuk di antara botol-botol besar yang ada di ruangan ini. Bau alkohol menyengat dari segala sudut menggelitik hidungku. Aku sudah hafal dengan baik botol berisi alkohol ini, yang biasanya juga ada di gudang rumah Ayah.

Aku mencoba untuk membangunkan badan mungilku sendiri, sedikit mengulet dan ah, sakit rasanya seluruh sendi ini. Ini pasti karena semalaman aku harus berbaring tanpa alas. Dengan susah payah aku berdiri sambil mengutuki kebodohan fatal, sampai aku bisa terjebak di sebuah mobil box yang berisi puluhan botol alkohol.

Masih jelas kuingat kemarin sore, aku sedang tertegun di depan halaman rumah. Senja, tiupan angin, dan daun yang gugur dari pohon di halaman mendukung suasana hatiku yang dilanda gundah. Penyebabnya adalah dia, si tampan, lagi-lagi bersikap cuek padaku. Entah sudah berapa kali ia berlaku seperti ini, mungkin kali itu sudah puncaknya sampai aku kesal dan mengambek padanya.

Lalu mobil box yang sering datang seminggu sekali ke rumahku ini muncul dan berhenti tepat di depan pagar.  Meski rutin, tapi supir yang mengendarainya jaranglah sama. Jadi aku pun malas berbasa-basi padanya. Biasanya aku cukup memperhatikan dari balik jendela, supir kendaraan itu mengeluarkan beberapa botol dan menyerahkannya kepada Ayah. Ia juga membawa beberapa lembar kertas untuk Ayah tandatangani. Lalu si supir akan pergi setelah menerima uang tips dari Ayah.

Alkohol dalam botol-botol itu dibutuhkan Ayah dalam pekerjaannya meramu parfum buatan sendiri. Setelah pensiun, ia mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual parfum tiruan. Memang tak begitu banyak pesanan yang datang, tapi cukup dapat mengisi waktu Ayah sehari-hari.

Kemarin sore itu, karena aku ngambek sama si tampan, saat melihat pintu belakang mobil box membuka akupun dengan lincah melompat dan masuk ke dalamnya. Bodohnya aku, tak pernah berpikir bahwa mobil itu hanya mampir sebentar di rumah Ayah lalu pergi. belum sempat aku turun, pintu mobil sudah menutup dan terkunci.

***

“Miaaaaawww.”

Aku mengeong saat mendarat setelah melompat keluar dari mobil box. Aku tahu sebaiknya tetap berada di dalam mobil. Seminggu lagi mobil ini juga akan membawaku kembali ke rumah Ayah. Tapi aku lapar, sejak kemarin sore perutku belum terganjal makanan. Biasanya, aku dan si tampan makan bersama lalu setelah kekenyangan kami pun tidur melekuk berduaan.

Ah, aku kangen si tampan, seekor kucing jantan ras garfield dengan bulu coklat keemasan. Ia tampan sekali. Sedangkan aku, seekor kucing betina ras kampung yang sangat tidak menarik. Seluruh tubuhku dipenuhi bulu hitam, tak sedikitpun warna lain terselip di situ. Kami berdua dipelihara oleh Ayahku sejak kami sama-sama berusia 3 minggu, dibeli dari sebuah pet shop. Entah apa yang membuat Ayah memilihku. Jarang sekali ada yang menggemari kucing hitam.

Aku pun kangen Ayah, kangen dielus tangannya yang kasar. Dia memanggilku si manis. Kasihnya tak berbeda antara aku dan si tampan. Bahkan kami berdua diberi keranjang tidur yang sama. Enam bulan tumbuh dan bermain bersama si tampan, perasaan sayang ini pun muncul. Aku jatuh cinta padanya, tapi ia hanya menganggapku teman. Siapa bilang friend-zone hanya terjadi pada manusia?

Aku semakin was-was saat tetangga sebelah rumah, memiliki kucing persia betina berwarna abu-abu. Ya aku akui dia cantik menggemaskan. Pantas saja si tampan sering mondar-mandir di depan pagar sambil menggoyang-goyangkan ekornya, pasti sedang mencuri perhatian si abu-abu gatal itu. Kalau sudah begitu, aku akan memaksa si tampan masuk dan bermain di dalam rumah. Iya, aku sadar aku bukan siapa-siapanya, jadi kenapa harus inscure?

Aku menyesal, kecemburuanku membuatku bertindak tolol sampai terbawa ke tempat ini. Di mana ini?

Dari pantat mobil aku berjalan beberapa langkah ke arah sebuah rumah. Mobil box diparkir 2 meter dari rumah itu. Dapat kulihat supir yang kemarin mengantar botol berbicara dengan seorang pria tua. Lebih tua dari Ayah sepertinya. Wajahnya sangat memperihatinkan, dan lebih banyak menunduk. Ia menyerahkan botol-botol kosong kepada si supir. Karena aku penasaran dengan isi pembicaraan mereka, aku mendekat untuk menguping.

“Ini saya kembalikan botol-botolnya, ke depannya saya gak pesan lagi Mas. Usaha saya sementara berhenti dulu, gak ada modal.” ucap Pak tua itu dengan lirih.

“Oh gitu. Baik Pak, saya turut prihatin. Sabar ya, Pak. Kalau begitu saya pamit dulu. Terima kasih sudah bekerja sama dengan CV kami.” Si supir undur diri dari Pak tua itu dan segera berjalan ke arah mobil.

Apa yang baru saja kudengar membuatku berpikir untuk segera kembali dengan cepat ke dalam mobil. Tapi belum juga aku memutar badan, tiba-tiba saja sepasang tangan menangkap tubuhku, mengangkat, dan kemudian mendekapku ke tubuhnya. Aku berusaha memberontak, namun pegangannya sangat erat.

“LEPASKAN AKUUUUU! Kumohon. Mobilnya tak akan kembali lagi ke sini, aku harus ke mobil itu. Aku mau pulaaaaaang.”

***

“Aaaaarrrrrrrr.” Aku menunjukkan taringku, menandakan amarah ke arah wanita yang sudah mengambilku tadi.

Wanita ini pantas kubenci, karena ulahnya aku tak bisa pulang ke rumah Ayah lagi. Tak akan pernah. Selamanya.

Ia membalas tatapan bola mata biruku  yang sinis padanya dan berkata dengan suara berat, “Hai manis, jangan marah dong. Sudah lama aku menginginkan dirimu. Kucing hitam betina, akhirnya aku menemukanmu.” Aku memperhatikan penampilannya dari ujung rambut sampai kakinya. Aku pernah melihat penampilan seperti ini di tayangan telenovela yang sering ditonton oleh istri Ayah, yang kupanggil Mama. Mama pernah menyebut sesuatu seperti wanita gipsi.

Ya, seperti itulah kira-kira dandanan wanita ini.

Setelah tadi menculikku, ia menggendongku pergi. Suara langkah yang terburu-buru, berpacu dengan deru nafasnya. Aku mencoba memperhatikan sekelilingku, aku harus tahu sejauh apa wanita ini membawaku dari tempat si Pak tua tadi. Ternyata tak begitu jauh, kami masih berada dalam jalan yang sama di belakang sebuah gedung tua yang cukup luas.

Aku melihat sepatu boots coklat yang compang-camping itu berhenti tepat di depan selembar kain yang terhampar di atas jalanan. Rupanya kain itu adalah alasnya duduk. Masih sambil menggendongku, ia menjatuhkan badannya di situ.

“Home sweet home, kitty.” Ia mengelus kepalaku. Aku tak menyukainya, kupalingkan wajahku karena tak ingin bertubrukkan mata dengannya.

“Ini lah tempat tinggalku. Di lapak ini, tempat tinggal sekaligus tempat menjalankan usaha ramalku.”

Ia menghela nafas panjang. “Kamu tau, sudah beberapa minggu usaha ramalku sepi. Tak ada pelanggan yang datang. Mungkin mereka bosan dengan ramalan tarot. Padahal, aku ini dulu cukup terkenal, si wanita gipsi peramal di Kota tua.”

Ada kepercayaan diri yang memudar terdengar dari suaranya yang merendah. Raut mukanya mengingakanku pada Pak tua tadi. Oh aku mengerti, begini toh muka manusia saat tak punya uang. Tiba-tiba aku merasa iba kepada wanita ini.

“Tapi kamu akan mengembalikkan keberuntunganku. Aku yakin kamu bukan kucing biasa. Kamu adalah kucing yang dikirim alam sebagai pertanda, bahwa ilmu hocus pocus-ku akan bertambah kuat.” Lalu ia tertawa dan terus tertawa tanpa henti.

Aku hanya dapat berteriak dalam hati, “Ayah tolong akuuuuu.”

***

Hari demi hari aku lewati tanpa sedetikpun si wanita gipsi ini melepasku. Sudah satu bulan sejak ia menculikku dan ternyata ucapannya benar. Usaha ramalnya perlahan bangkit. Setiap harinya ada saja yang berkunjung. Mulai koko tua yang mempunyai usaha di sekitar daerah Kota ini, sampai karyawan bank besar yang jarak kantornya dapat ditempuh dengan jalan kaki dari lapak si gipsi ini.

Aku pun mulai pasrah dengan kondisiku yang terjebak bersama peramal gipsi. Apalagi aku membawa keberuntungan baginya, ia jadi punya penghasilan lagi untuk menyambung hidup. Hal itu dapat mengobati hatiku yang terluka karena kehilangan keluargaku. Aku sadar hidup itu tak selamanya di atas. Aku yang dulu seekor kucing peliharaan dengan makanan dan alas tidur yang terjaga dengan baik, sekarang terlantar di jalanan. Aku bahkan makan sisa makanan yang berhasil dikumpulkan wanita gipsi ini untukku dari warteg pinggir jalan. Sekarang aku benar-benar merasakan menjadi kucing kampung di jalanan. Ternyata, kehidupan di luar rumah Ayah begitu keras.

Ada yang berbeda dengan malam ini dari biasanya, bulan sedang menampakkan wujudnya yang bulat sempurna. Aku menikmati pemandangan ini sambil bersandar di dada si gipsi yang juga berbaring dan menatap langit.

“Bulannya indah ya manis. Itu yang namanya bulan purnama. Pada malam ini, saat bentuk bulan sedang sempurna, biasanya para ahli sihir melakukan ritual pembacaan mantera atau doa. Hal itu untuk menambah kekuatannya.”

Aku tak peduli dengan yang ia katakan, yang aku rasakan saat ini adalah aku merindukan Ayah dan Mama angkatku. Mereka menyayangiku dan aku yakin mereka sangat sedih karena kehilangan salah satu kucingnya.

Lalu si tampan, apakah kucing jantan yang aku cintai dalam diam itu merindukanku? Atau ia tak peduli seperti biasanya, dan tetap berusaha mencuri perhatian si persia cantik itu? Atau jangan-jangan mereka sudah menjadi sepasang sejoli sekarang?

Aku membiarkan perasaan rindu dan pedihku itu berputar dan menari di antara purnama yang bersinar terang malam ini. Jika memang benar ada mantera yang akan berhasil saat ini, aku hanya berharap mantera itu bisa membawaku kembali pulang.

***

Keesokan harinya, saat matahari tepat berada di atas kepala, seperti biasa wanita gipsi ini berjalan menyusuri sepanjang jalan mencari makanan untukku. Lalu aku sadar, ini bukan jalan biasa yang dia lewati. Tapi ini adalah jalan menuju rumah si Pak tua itu.

Aku mendongakkan kepalaku untuk memastikannya. Benar, aku kini melihat si Pak tua dan beberapa orang sedang sibuk lalu lalang di depan rumahnya. Mukanya tak lagi murung.

Si Pak Tua yang melihat kehadiran kami di dekat situ segera menghampiri. Tubuhnya sudah agak membungkuk dan berjalan sangat pelan.

“Anda pasti wanita gipsi yang dibicarakan anak saya. Saya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya.”

Wanita gipsi sedikit bingung dengan ucapan si Pak tua. “Bapak salah satu pelanggan saya? Saya tak mengingatnya.”

“Bukan saya, tapi anak lelaki saya. Ia mengikuti saran anda lalu ia berhasil mendapatkan pinjaman uang dari orang yang tak terduga, sehingga usaha kami bisa kembali berjalan.” ucapnya bersemangat.

Ia kembali melanjutkan, “Dulu, karena sudah lesu, bahkan untuk membeli alkohol saja, material paling murah untuk usaha saja tak mampu. Sunguh memalukan.”

“Saya senang mendengarnya Pak. Semoga keberuntungan menyertai anda.”

Sudut mataku merasakan ada yang datang bergerak ke arah si gipsi dan Pak tua berdiri. Aku pun menengok ke arah itu dan melihat sebuah mobil mendekat. Itu mobil box-nya datang! pekikku. Mobil box yang aku pikir tak akan pernah datang lagi, tepat berhenti sekitar 1 meter di depan rumah Pak tua. Seorang supir keluar dari dalamnya dan berjalan ke arah belakang mobil untuk mengeluarkan beberapa botol alkohol pesanan Pak tua.

Aku tak percaya dengan apa yang aku lihat. Mobil itu adalah harapan bagiku untuk pulang. Tapi bagaimana caranya lepas dari si gipsi ini?

“Saya pamit pergi, Pak.” Lalu si gipsi meninggalkan Pak Tua. Aku masih berada dalam dekapannya sambil memikirkan bagaimana cara kabur dan masuk ke mobil itu.

Si  gipsi terus melangkah dan di luar dugaanku, ia berjalan mendekat ke belakang mobil.

Ia mengarahkan wajahku padanya, menatap mataku lekat-lekat dan berkata, “Manis, aku tau yang kamu inginkan. Aku mengambilmu sebulan yang lalu di dekat mobil ini. Kamu memang membawa keberuntungan untukku dan juga orang lain, tapi aku harus mengembalikanmu. Di sini, di tempat segalanya bermula.”

Mataku mungkin saat ini melukiskan wajah memelas kepada wanita di hadapanku. Tak kusangka begitu baik hatinya. Ia menggesekkan hidungnya ke hidungku. Aku tergelak dan kami berdua tersenyum.

Ia menjongkokkan badannya sambil meletakkanku di atas aspal jalan. Ia kembali mengelus kepalaku, “Terima kasih ya manis. Sekarang saatnya pulang.” Ia bangkit dan dengan cepat berlalu dari tempatku berdiri. Ia tak menengok ke belakang lagi, terus melangkah pergi. Aku masih mengawasinya sampai punggungnya lenyap dari pandanganku. Dan akupun siap meloncat masuk ke dalam mobil.

***

Mobil ini tak langsung membawaku pulang, Perlu menunggu satu hari di dalamnya sampai akhirnya aku mengenali udara yang menghambur masuk saat pintu belakang mobil terbuka. Ini aroma rumahku. Aku pun menghambur keluar mobil dan melompat melewati Pak supir yang terpekik kaget. Aku berlari kencang menuju tempat Ayahku berdiri di pintu.

“Maniiiiiis, kamukah itu nak?” Pria ini memelukku kencang dan menciumi kepalaku bertubi-tubi. “Maaa, manis pulang Ma. Aku tak percaya ini. Ayah pikir kita tak akan berjumpa lagi.” Aku bisa melihat raut bahagia di balik mata yang berkaca-kaca. “Kamu tau, si tampan sangat kehilangan kamu. Ia tak bersemangat. Kerjaannya hanya tiduran dan murung. Ayo sana samperin si tampan.”

Si tampan kangen sama aku? Aku melompat dari dekapan Ayah dan segera menuju ke dalam rumah, mencari keberadaan si tampan.

Itu dia, terlihat lesu di atas keranjang tidurnya. Matanya terpejam.

“Miaaaaaww.”

Suaraku membangunkan tubuh gempal keemasan itu. Ia terkejut melihatku saat mata coklatnya terbuka. Mulutnya menganga beberapa saat. Kemudian dengan sigap dan gagah si tampan keluar dari singgasananya, berjalan mendekatiku.

“Meoooong.”

Lalu ia memeluk tubuhku, mengenduskan hidungnya ke hidungku. Lama.

“Aku pikir kamu tak akan pernah kembali. Aku pikir aku sudah kehilanganmu. Dan aku pikir hidupku pun tak ada lagi gunanya tanpamu.”

“Kan ada si persia cantik itu. Kamu kan gak butuh aku.” ucapku manja, sambil menggaruk kumisku dengan kaki kanan. Aku menutupi grogi saat mendengar kata-katanya barusan.

“Kamu cemburu ya? Tambah manis lho kalau begitu.” godanya.

“Ih tampaaaan. Miaaaaaaw.”

“Manis, jangan pergi lagi ya.”

“Tampan, jangan buat aku pergi lagi ya.”

Lalu kami pun bergulat dan bercengkerama di atas lantai.

Si Manis dan Si Tampan
Si Manis dan Si Tampan

Note:
Hocus Pocus = Sihir