Sebut Saja Surat Cinta

Dear Sam,

Hai Sam…apa kabar? Semoga baik-baik saja ya kamu di sana. Aku di sini sehat, itu juga kalau kamu mau tahu sih.

Eh, pasti kamu bingung deh kenapa aku tiba-tiba kirim email. Sama!! Sebenarnya aku juga bingung mau nulis apa 😐

Tapi kan kamu sendiri yang kasih alamat email, kamu tulis di atas tisu karena enggak ada selembar kertaspun di sekitar kita. Artinya, aku boleh dong ya menghubungi kamu lagi 😀

Sebelumnya, aku mau bilang terima kasih atas jamuan yang kamu berikan seminggu yang lalu di Bali. Kamu baik banget mau menemani jalan-jalan. It was fun!

Ingat enggak, di malam terakhir aku di Bali dan kita dinner di Jimbaran? Kita ngobrol ngalor-ngidul sampai jam 11 malam dan di tengah obrolan kamu menanyakan, “Kamu punya pacar?”

Saat itu aku cuma tersenyum sambil menggelengkan kepala. Eh, kamu malah bilang begini, “Tapi ada yang sedang ditaksir kan?”

Lagi-lagi aku menggeleng.

Padahal saat itu aku berbohong dan rasanya enggak enak banget, makanya aku putusin untuk ceritain yang sejujurnya sama kamu. Kamu mau kan ya dengerin curhatan aku? Aku anggap mau ya… :p

Sebenarnya, setahun belakangan ini pikiran dan hatiku sudah diisi oleh seorang pria.

Aku pertama kali bertemu dengannya di lift kantor. Pria itu pegawai baru di kantorku. Sehari sebelum ia bergabung, kabar kerupawanan wajahnya sudah tersebar di antara kaum perawan kantorku. Semua wanita, tak terkecuali aku enggak sabar ingin berkenalan dengannya. Dan beruntungnya aku, ketika di pagi hari terlambat masuk kantor malah bisa terjebak dalam lift yang sama dengannya. Berdua saja. Cieee. (Loh kok, ciee?)

Akupun langsung memanfaatkan kesempatan emas untuk bisa berkenalan dengan si tampan itu. Saking kelunya bibirku, saat itu aku yang bingung mau bilang apa malah hanya bisa bilang, “Eh kamu ke lantai 6 juga? Kok enggak pernah lihat? Ah iya, kamu kan anak baru di marketing ya?”

Dia hanya membalas dengan senyuman yang memamerkan barisan giginya yang rapih. Tapi itu cukup membuat dadaku berdebar dua kali lebih cepat, perut seperti tertohok, dan lutut kakiku terasa lemas. Ternyata, cinta pada pandangan pertama itu ada J

Aku yang grogi, begitu pintu lift terbuka segera melangkah keluar. Padahal itu masih lantai 5! Sadar-sadar, pintunya sudah menutup dan dia diam saja. Sebel banget, kan malu karena salah lantai. Lagipula kan tadi aku sudah bilang kalau sama-sama keluar di lantai 6. Mestinya kan dia mengingatkan aku 😦

Sejak saat itu, setiap bertemu di kantor atau di kantin dia selalu tersenyum padaku. Mau tahu rasanya? Senang pake banget! Aku berharap ada kesempatan bisa mengobrol dengannya, tapi mana ada sih anak Audit yang pernah main ke ruangan Marketing? Udah kayak anjing dan kucing begitu, enggak pernah akur. Akhirnya aku terima hanya bisa mengamatinya dari kejauhan dan menyimpan sendiri rasa ini, sambil menunggu waktu yang tepat untuk bisa lebih mengenalnya.

Setelah hampir setahun menunggu, akhirnya aku berhasil mendekati anak marketing juga. Melalui dia, aku minta dipertemukan. Untungnya ia mau membantu dan berjanji akan mengajak aku dan si tampan untuk makan bersama sepulang jam kantor.

Tapi apa yang terjadi, aku harus menelan rasa kecewa. Si tampan mendadak tak bisa karena ada acara mendadak. Aku terpaksa harus menunggu kesempatan lainnya yang tak pernah datang, karena si tampan itu tak lama kemudian dipindahkan ke kantor cabang kami ke Bali.

Dan malam terakhir ia di Jakarta aku menangis. Iya, menangisi kepengecutanku yang hanya bisa menjadi pengagum rahasia dan harus menerima kemungkinan kami tak akan pernah bertemu lagi.

Hari berganti hari, sampai sebulan setelah kepergiannya aku mendapat tugas dinas untuk mengaudit kantor cabang Bali. Mendengar kabar itu, serta merta membuatku berteriak saking senangnya. Berarti masih ada kesempatan untuk aku bertemu dengannya lagi. Dan aku sudah bertekad di Bali nanti tak akan ragu untuk mencarinya.

Ternyata ia mengenaliku. Untuk pertama kalinya kami bisa saling mengobrol. Karena tak mengenal siapapun di kantor cabang Bali itu, aku memintanya untuk menemaniku makan siang. Guess what? Dia malah menawariku untuk menemani berjalan-jalan di Bali. I’m a very happy girl!

Karena kesibukannya, dari total 3 hari aku di Bali, si tampan itu hanya bisa menemani di malam terakhir saja. Tapi itu cukup bagiku. Dengan sebuah motor, ia membawaku menelusuri pantai mulai Kuta dan berakhir di Jimbaran.

Kamu tahu Sam, tak pernah aku merasa sebahagia malam itu. Aku sadar, untuk kedua kalinya telah jatuh hati pada orang yang sama. Tapi lagi-lagi aku tak memiliki keberanian untuk menyatakan perasaanku. Ragaku kembali ke Jakarta, hatiku tertinggal di Bali.

Aku tetap ingin menyimpan rasa ini, sampai hilang dengan sendirinya. Setidaknya, itulah yang kuharapkan. Tapi aku malah tak bisa berhenti memikirkan dan merindukannya. Sampai pada satu titik aku merasa hatiku lelah terus-terusan memendam rasa.

Kuputuskan untuk menyatakan perasaanku padanya. Itu satu-satunya cara untuk mengurangi beban hatiku. Aku tak perlu takut lagi akan apapun jawabannya. Jika memang tidak, malah hatiku tak penasaran lagi dan bisa segera move on. Ya kan?

So, here I am, Sammy. Telling you that I love you, sejak pertama kali kamu tersenyum di dalam lift. Dan semakin bertambah sejak di Jimbaran malam itu, saat menatap mata bulatmu yang dengan antusias menceritakan tentang dirimu. I’ve been waiting for that moment for a year, and I thank God for giving me a chance to getting closer to you.

And now, I seek another chance to be with you.

Love,

Sally.

Sally membaca surat elektroniknya berkali-kali, sebelum akhirnya yakin untuk mengirimkannya kepada Sammy, pria yang ia cintai selama ini. Ia berdoa dalam hati dan memasrahkan apapun jawaban yang akan diterimanya.

Dengan gemetar, ditekannya tombol enter. Lalu email itu pun terkirim.

Tidak sampai dua detik, sebuah email baru mengisi inbox-nya. Sebuah email yang judulnya membuat Sally merasa kesal, sekesal-kesalnya.

Mail Delivery Subsystem
Delivery Status Notification (Failure)

Dilihatnya lagi lembaran tissue yang bertuliskan alamat email pria itu. Sally tak salah, seluruh hurufnya sudah tepat dan tak ada yang terlewatkan. Berarti, si Sammy lah yang salah menuliskannya.

Sial!

Sally menjedotkan kepala ke atas keyboard laptopnya. Bahkan untuk mengungkapkan cinta saja, sepertinya ia tak memiliki kesempatan itu.

—The End—

When She Cries

“Ngga bisa. Pokoknya gue ngga bisa.” tegas gue.

“Kenapa ngga mau mencobanya dulu?” ucapnya sambil terisak.

Argh, wanita ini sungguh keras kepala. Pake acara menangis segala. Gue paling ngga bisa lihat wanita menangis sebenarnya. Tapi entah sudah berapa kali dia menitikkan air matanya di depan gue. Dan untuk kesekian kalinya gue ngga juga merasa iba. Gue sendiri heran mengapa hati gue ngga tergerak sedikitpun akan kesungguhan wanita ini. Gue kasihan padanya. Cintanya setengah mati sama gue. Sedangkan gue? Tidak memiliki perasaan apapun padanya.

Sudah setahun lamanya ketika pertama kali gue menolak cintanya. Tapi dia tetap gigih mengejar gue. Tetap setia bertahan menjadi teman gue. Bukan gue yang meminta loh, dia sendiri yang dengan suka rela melakukannya. Atas dasar ‘ngga enak’ ya gue pun tetap memperlakukannya sebagai teman baik.. Tapi kalau kebaikan gue diartikan terus-menerus olehnya sebagai harapan, lama-lama gue bingung juga.

Jujur, gue menikmati rasa sayangnya itu. Disaat gue susah, dia toh selalu ada buat gue. Bangga lah gue punya fans setia semacam dia. Tapi sebagai pria dewasa normal pada umumnya, gue juga ingin mengejar wanita. Wanita yang ingin gue sayang. Dan sayangnya, itu bukan dia. Dia yang kini menangis tersedu di hadapan gue karena cintanya ditolak untuk ke sekian kalinya.

Gue keluarkan sebatang rokok dari saku kantong lalu membakar ujungnya dengan korek api. Kondisi seperti ini membuat mood gue rusak. Dan hanya rokok yang dapat menyelamatkan ketegangan gue. Gue tarik satu hisapan panjang lalu mendongakkan wajah ke atas. Gue memainkan asapnya di dalam mulut sebelum menghembuskannya ke udara. Dari sudut mata gue bisa tau kalau wanita itu sedang memperhatikan gue. Gue melirik ke arahnya. Tak ada lagi air mata di wajahnya. Tersisa hanya lengkungan tipis bibirnya. Dia sedang tersenyum.

“Udah nangisnya? Kok sekarang senyum?” tanya gue yang terdengar cukup galak.

“Gue suka lihat gaya lo ngerokok. Makin jantan deh.” ucapnya sambil terkikik.

“Gak usah ngerayu. Kata-kata begitu doang ngga lantas bikin gue nerima cinta lo juga.” kata-kata gue langsung merubah mimiknya dari senyum menjadi semburat kesedihan. Sebelum dia mulai menangis lagi sebaiknya gue segera ajak pulang.

“Udah malam nih, makin sepi juga nih taman. Yuk, gue anter pulang.”

Sepanjang perjalanan mengantarnya pulang kami saling diam. Gue geser spion motor sedikit agar dapat memperhatikannya yang duduk di boncengan motor gue. Astaga, dia menangis lagi. Ah, bagaimana gue bisa berkonsentrasi mengendarai motor kalau begini. Ada ketakutan luar biasa kalau-kalau wanita yang sedang rapuh ini terjatuh dari motor gue.

Diam-diam aku berdoa. Mengapa Engkau membawanya masuk ke kehidupanku, Ya Tuhan? Sungguh aku sulit menentukan sikap menghadapi semua ini. Setiap jiwaku sepertinya ingin mati saja ketika melihatnya menangis. Beban yang kurasa sungguh berat karena tak mampu membalas cinta dan kebaikannya. Sangat ingin aku memantaskan diriku untuknya yang sudah dengan setia menantiku. Sudah kucoba dan tak bisa. Lalu apa yang harus aku lakukan? Mencintanya aku tak sanggup tapi meninggalkannya aku tak mampu.

Tiba di halaman depan rumahnya, tanpa banyak bicara dia menyerahkan helm kepada gue. Dia lalu melangkah pergi menuju pintu pagar dan membukanya. Bunyi decitan kunci dibuka terdengar memecahkan kesunyian malam ini. Dia membalikkan badan ke arah gue lalu berkata, “Thanks ya. Untuk semuanya. Bye.” Sambil mengusap pipi dengan punggung tangannya, dia pun membalikkan badan lagi.

Gerakannya yang beberapa kali membalikkan badan, menghapus air mata, mengunci pagar, lalu berjalan memasuki rumahnya terlihat anggun sekali. Dia layak mendapatkan pria yang tepat. Yang dapat mencintainya. Gue pasang kembali helm dan menstater motor gue. Bunyi raungan mesin pun mengiringi laju kendaraan roda dua yang meninggalkan rumahnya.

Doa sekali lagi kupanjatkan pada Tuhan, menemani perjalanan pulang di malam ini. Ya Tuhan, jangan biarkan dia menangis lagi.

Cukup jelas kan doa gue? Gue ingin dia tidak menangis lagi. Bukan menjauhi gue. Karena gue belum siap ditinggalkan olehnya.

Setelah malam itu, dia memutuskan segala komunikasi dengan gue. Dia benar-benar berusaha untuk melupakan perasaannya. Melupakan gue. Lalu mengapa gue harus kehilangan? Bukankah ini yang sejak awal gue inginkan. Bahkan gue pernah mencoba menjauhinya beberapa kali.

Selang beberapa hari tanpa kehadirannya, ada rasa gamang gue rasakan. Tapi nyali gue sangat ciut untuk menghubunginya. Ngga sanggup untuk menghadapinya. Sudahlah, gue tidak ingin mengganggunya lagi.

Sekarang, biarlah gue jalani kenyataan menjadi seorang stalker yang mengamati timeline-nya. Ya, membaca tweet-nya diam-diam karena dia sudah block account Twitter gue.

Melepaskanmu adalah bukti ketulusanku mencintaimu.

Gue baca berkali-kali kata demi kata.

Melepaskanmu adalah bukti ketulusanku mencintaimu.

Lalu air mata membasahi pipi.

Tuhan, apa yang telah aku lakukan?