Family Portrait

Assalamualaikum..

Mumpung masih dalam suasana Lebaran, gue mau ngucapin Selamat Hari Raya Iedul Fitri ya. Semoga kita semua kembali suci. Aamin.

Ohiya, maaf lahir batin juga..maaf sudah jarang nulis, dan maaf juga untuk orang-orang yang pernah jadi inspirasi di setiap tulisan gue. Terutama untuk si ‘sahabat’ dan si ‘cowok Tinder’, gue yakin mereka pasti keki dan merasa karakternya telah dibantai oleh gue. Muahahaha. Salah sendiri, makanya don’t mess up with a writer :p

Kali ini karena dalam rangka Lebaran, gue mau share tentang tradisi yang biasa banget dilakukan di hari raya.

Unik yah kebiasaan orang Indo di saat lebaran, ada yang bikin kue kering kayak nastar dan kastengel atau beli buat yang enggak mau ribet. Masak ketupat dan opor ayam plus beragam masakan uenaaaak lainnya itu pasti. Mudik! Seru banget kan mudik itu, meski macet luar biasa dan malah tahun ini ada yang sampai nginep di tol. Tapi senang aja gitu ngejalaninnya setahun sekali demi berkumpul dengan keluarga.

Apalagi? Baju baru, Alhamdulillah. Meski kata lirik sebuah lagu ‘tak punyapun tak apa-apa, masih ada baju yang lama’, tapi kayaknya kurang lengkap aza kalau enggak pakai baju model terbaru. Ohiya dong, masa enggak ikutan beli kaftan brukat yang lagi hitz 😀

Sungkeman dan saling maaf-memaafkan. Ah ini adalah tradisi sakral keluarga yang bikin haru dan nangis bombay. Terutama ke orang tua ya, pokoknya meleleh aja lah bawaannya kalau sungkem. Selain bagian yang bikin air mata bercucuran, ada juga moment Lebaran yang bikin senang yaitu bagi-bagi uang ke anak kecil. Dulu pun gue happy banget kalau ngider ke rumah-rumah cuma demi dapet THR. Sejak sepuluh tahun lalu ketika gue sudah bisa cari duit, gantian deh gue yang bagi-bagi angpaw. Cuma herannya anak jaman sekarang udah ngerti bedanya warna duit, cyin. Dikasi yang warnanya ungu aja masih ada yang mukanya asem, dikasih yang hijau baru deh nyengir. Gimana kalau biru coba. *tepok jidat*

Ada satu lagi tradisi saat lebaran yang enggak boleh lewat. Foto keluarga.

Tradisi yang bikin hati gue tersayat-sayat tahun ini.

Bukan…bukan karena gue belum punya keluarga baru seperti umumnya orang seusia gue, yang sudah menikah dan punya keturunan. Untuk hal yang itu gue sih enggak segitunya nelangsa kok. Gue cukup bersyukur dengan apa yang gue punya sekarang. Sungguh.

Tapi kesedihan ini enggak bisa dibendung lagi ketika melihat foto-foto keluarga yang masih lengkap. Itu yang gue enggak punya dua tahun terakhir ini.

Gue memang terlahir dari keluarga kecil. Orang tua gue hanya memiliki dua buah hati, semuanya perempuan. Kakak gue pun telat menikah. Di postingan ini, gue pernah menceritakan tentang pernikahan kakak gue di usianya yang ke 37 tahun. Jadi, sejak gue balita sampai dewasa, ya foto keluarga di saat Lebaran hanya terdiri dari 4 anggota. Papah-Mamah-Kakak-Adik.

But, numbers are just number. Kalau banyak tapi bercerai berai apa gunanya? Biarpun cuma berempat, tapi keluarga gue sangat dekat. Dan foto keluarga berempat pada moment Lebaran itu benar-benar gue tunggu. How I love my family, so much. Like…ah more than anything in this world!

IMG_6018.JPG

Sampai di Lebaran tahun 2015, my world had fallen apart.

Gue enggak pernah terbuka sebelumnya, tentang kehilangan terberat yang gue alami 2 tahun silam. Di tulisan ini, gue pernah sedikit menyinggung tentang kakak tercinta gue yang didiagnosa menderita ovarium cancer. Selama 2 tahun berjuang melawan penyakit ganas ini, di tanggal 15 Mei 2015, ia menghembuskan nafas terakhirnya. Gue ikut mendampinginya saat itu. Kondisi yang semakin parah karena cancer sudah tersebar membuatnya seminggu dirawat di Darmais, sebelum akhirnya tak sadarkan diri di ruang ICU. Almarhumah tenang sekali ketika meninggal, seperti orang tidur. Dan subhanallah, meninggal di hari Jumat di sepertiga malam. Semoga Allah SWT mengangkatnya ke Surga. Aamiin.

Saat itu, gue sadar. Dicampakkan orang yang kita sayangi itu sakit tapi enggak ada apa-apanya dibandingkan dengan ditinggalkan oleh keluarga untuk selamanya. Selamanya.

Gue menangis sejadi-jadinya. Berbagai pertanyaan gue lontarkan pada Tuhan. Mengapa harus kakak gue? Dia masih muda. Dan kami cuma berempat, sekarang tinggal bertiga.

Lebaran 2015 untuk pertama kalinya, foto keluarga gue tidak lagi utuh.

IMG_1491.JPG

Ketika berfoto saat itu, gue terus berdoa dalam hati.

“Aku mohon ya Allah. Beri kesehatan dan umur yang panjang untuk kedua orang tuaku. Jangan Kau ambil lagi anggota keluargaku yang tinggal 2 orang ini.”

Namun rupanya Allah menghendaki yang lain. Belum genap setahun, tepatnya tanggal 13 Maret 2016, Allah SWT mengambil Papah.

Menyakitkan.

Papah pergi dengan mendadak, enggak sakit sebelumnya. Bahkan di pagi harinya ketika gue pamit mau pergi dinas ke Pekanbaru, kami masih bercanda seperti biasanya. Dan ingatan saat taksi gue meninggalkan rumah dan Papah melambaikan tangan dari jendela kamar, enggak akan pernah gue lupakan seumur hidup. Siapa yang pernah menduga itulah terakhir kali gue melihat Almarhum Papah.

Pengalaman itu sempat membuat gue sangat membenci terbang. Enggak terbesit di benak gue, dua jam penerbangan itu seharusnya berujung menyenangkan. Setiap sehabis mendarat– kadang pesawat masih di runaway— gue pasti dengan antusias langsung mengirimkan pesan pada Mamah agar dia tidak khawatir. Mamah biasanya akan segera membalas dengan ucapan syukur dan meminta gue untuk jaga diri dengan baik.  Tapi saat itu yang gue dapat adalah balasan telpon dari Mamah dengan suara menangis. “Mia pulang lagi ya sekarang, Papah jatuh.”

Kaki gue saat itu seakan enggak bisa bertumpu dengan benar, lemas seketika. Teman gue terpaksa harus membopong gue sampai ke ruang tunggu bagasi untuk duduk. Gue panik. Untung masih bisa mengejar pesawat terakhir, sehingga malam itu segera bisa kembali ke Jakarta.

Dan perjalanan kembali dari Pekan baru ke Jakarta tidak kalah mencekamnya. Perasaan gue bercampur aduk. Gue pun terus berdoa di sepanjang jalan.

Papah jangan pergi dulu, Pah. Tunggu Mia, Pah. Tolong jangan sekarang, ya Allah. Mia masih butuh Papah…Mia belum bisa bahagiain Papah. Papah belum melihat Mia menikah dan punya cucu…

Begitu pesawat mendarat jam 7.30 malam saat itu, gue segera menghidupkan kembali Iphone gue. Sebuah sms ucapan duka cita langsung gue terima. Pengirimnya adalah Om-nya Papah yang gue sapa dengan panggilan Eyang.

Papah sudah enggak ada.

Dunia gue kembali runtuh.

Lebaran tahun 2016, sekitar 4 bulan dari kepergian Papah, gue dan mamah tetap melanjutkan tradisi foto keluarga. Hanya ada gue dan mamah. Berdua. Ada senyum di wajah kami berdua, tapi hati kami menangis. Semoga Allah SWT mengampuni dosa Papah dan menerima amal ibadahnya.

IMG_8416

Jujur, gue enggak kuat dengan kehilangan bertubi-tubi ini. Tapi yang membuat gue tegar adalah Mamah. Harusnya Mamah lah orang yang paling rapuh, dalam setahun ditinggal anak dan suami. Mamah adalah sosok yang kuat. Apakah pernah dia memprotes kepada Sang Pencipta mengapa hidup ini tidak adil padanya? Tidak.

Kita orang yang beriman, harus percaya pada rencana Allah. Ikhlas dan tabah menjalani suratannya. Begitu kata Mamah.

Mamah, benar. Biar sekarang gue cuma punya Mamah tapi enggak akan mengurangi rasa bersyukur pada Ilahi. Masih ada Mamah yang menemani dan akan gue jaga dengan sungguh-sungguh. Mamah akan jadi prioritas utama yang harus selalu gue bikin senang.

Semoga Allah SWT selalu melindungi Mamah. Mamah diberi kesehatan dan panjang umur ya, Mah. As long as we got each other, nothing else matters.

Bersyukurlah yang masih memiliki keluarga yang utuh. Bukan untuk pamer foto keluarga. Tapi esensi di balik hasil itu. Bukan menunjukkan kekompakan lewat warna dan model baju yang seragam, tapi meminimalkan perselisihan dengan orang tua. Bukan berlomba-lomba untuk berpose yang memperlihatkan keakraban dengan merangkul keduanya, tapi apa yang sudah kita lakukan sehari-hari untuk mereka. It’s not about money, diperhatikan saja mereka sih sudah senang banget kok.

Your parents are the most precious gift that God ever give to you.

Selamat berkumpul dengan keluarga, semuanya 🙂

 

Daddy Vs. Him

Pernah nggak, ngalamin masa dicemburuin Bokap karena waktu lo habis buat cowok lo?

Well, been there done that.

In love sama cowok itu emang menyita waktu dan perhatian banget, sampe-sampe gue lupa ada cowok di hidup gue yang enggak kalah pentingnya. Bokap.

Gue emang deket banget sih sama Bokap, meski usia gue udah 20-an (28 juga 20-an kan :p), tapi kalo di rumah kayak anak umur 8 tahun. Gue masih suka bercanda anak kecil sama dia, gue seneng banget main tindih ke dia, atau bobo di pahanya lalu dia elus-elus kepala gue. Kebiasaan yang masih dan gue harap akan terus berlangsung. AMIIIIN.

Sejak kuliah gue meninggalkan rumah sampai kemudian melanjutkan kerja di Jakarta. Jadinya, sudah sepuluh tahun gue hanya pulang semingu sekali atau paling maksimal ya sekali sebulan. Enggak boleh lebih dari itu atau Bokap gue akan ngambek. Iya, doi tukang ngambek. Anaknya kudu sering-sering telepon nanyain keadaannya, atau doi akan ngediemin gue berhari-hari.

Mengetahui sifat Bokap yang sedikit posesif sama gue, membuat gue enggak pernah cerita sama sekali masalah-masalah seputar cinta gue ke beliau. Tapi Bokap bisa rasain anaknya yang lagi sedih diem-diem. Bentuk support dia buat gue dengan cara elus-elus kepala gue, dan itu berhasil menenangkan gue.

Gue menyesal, ya, sangat menyesal pernah menomorduakan Bokap. Ketika itu, gue sedang dekat dengan cowok tentunya.

Enggak cuma waktu yang banyak gue habiskan sama cowok, sampe akhirnya gue jarang pulang. Materipun lebih banyak gue habiskan untuk si cowok. Kalau gue traveling, si cowok dapet oleh-oleh paling banyak melebihi Bokap!

Gebleg!

Bokap gue enggak pernah protes, dia diem aja. Adalah Nyokap, yang waktu itu nyadarin gue kalau gue udah berkurang perhatian ke keluarga. Cenderung lebih perhatian ke keluarga si cowok bahkan. Nyokap sampe bilang, jangan sampe kamu menyesal dan semuanya terlambat.

Lalu tibalah waktu di mana gue dicampakkan oleh si cowok. Gue terpukul, dan kemana lagi gue berlari kalau bukan kembali ke keluarga.

Bokap gue, orang yang tidak pernah menyinggung masalah percintaan gue itu, sampai ikut bersuara, “dengerin Papah ya Ndok, laki-laki itu enggak baik, kamu jauhi dan lupakan dia ya.”

Ah, gue merasa tertampar. “Papaaaaaah…”

“Go home frequently, cause someday someone will steal you from me and build you a new home.”

I smile listening to his words. I know one thing, I may not a man’s special woman yet, but I will always be a Daddy’s little girl. And it makes me special.

🙂

Sejak saat itu, Bokap kembali menjadi prioritas gue. Gue harus bersyukur punya Ortu yang masih lengkap yang harus gue curahkan segenap waktu dan perhatian gue kepada mereka. Betapa pelajaran hidup itu berharga ya…

So, khususnya para cewek, jangan sampe kepedulian kamu ke pacar melebihi kepedulian ke Bokap ya. Harus imbang, ingat selalu sama dua cowok penting dalam hidup kita. Cowok bisa nyakitin hati kita, tapi Bokap enggak akan pernah lukain perasaan anaknya.

Don’t spend most of your time for your beloved man, your Daddy deserves more. Be there always for him before too late or you may regret it. Ever.

Nah, compare ke cowok spesial dalam hidupmu, seberapa dekat kamu dengan Ayahmu? Do you know his size or favorite things as well as your man? Let’s start listing it. Contoh dari gue tapi ini dulu ya 😉

Daddy Vs Him.
Shoe size: 41 Vs 42
Clothes size: L Vs L
Things:
-          Demen masakan yang kecut Vs Nasgor mania
-          Coffe lover Vs Coffee hater
-          Ex smoker Vs Heavy smoker
-          Sama-sama ngambekan 😀

My Family Tree

Lo pernah penasaran enggak sih sama silsilah keluarga lo? Ingin tau asal usul lo dan seperti apa buyut lo di masa lalu? Well, gue iya. Banget. Dari dulu paling suka mendengarkan cerita bokap nyokap gue tentang sejarah keluarga. Menurut gue, mengetahui cerita-cerita sejarah keluarga gue itu bagaikan dongeng yang pantas diturunkan ke para generasi penerus, selain cerita Cinderella atau Snow White tentunya. 🙂

Jadi ceritanya siang tadi gue sekeluarga menunjungi salah satu eyang yang masih hidup. Bukan eyang langsung gue, tapi adik laki-laki eyang kakung tepatnya. Setelah perjalanan jauh ke Pamulang plus sedikit nyasar, akhirnya sampai juga di rumah Eyang.

Eyang Sarosa namanya. Atau akrab dipanggil eyang Sar. Ternyata eyang gue yang sudah berumur 80 tahun ini masih sehat wal-afiat. Enggak seperti tipikal kakek tua umumnya yang sering gue lihat di TV. Tidak bertongkat dan tidak pikun. Beliau bahkan masih dapat membaca tanpa kaca mata! Meski jarak pandang mata dan yang dibaca maksimal 10 cm. Hehe.

Eyang Sar saat ini

Eyang gue tinggal sendiri di rumahnya yang cukup dihuni satu keluarga sebenarnya. Tapi hanya sepasang ART saja yang menemani beliau. Istrinya sudah lama meninggalkannya kembali kepada sang pencipta. Anak-anaknya sudah hidup terpencar, meski begitu bukan berarti eyang ditelantarkan. Tiap minggu anak cucunya pasti rajin mengunjunginya kok. Dan beliau akan merasa bahagia sekali, hiburan baginya melihat anak cucunya berkumpul.

Eyang Sar muda (engineer cuy)

Selain berkumpul, yang membuat eyang bahagia adalah teknologi. Jebolan teknik mesin ini di waktu senggangnya ditemani oleh netbook dan blackberry torch. Layar sentuh saudara-saudara! Kalah deh emak babe gue :))

Baru datang saja beliau langsung mengeluarkan sebuah buku dan beberapa poster. Ternyata buku itu adalah silsilah keluarga dan poster itu adalah bagan family tree. Keduanya beliau sendiri yang membuatnya! BRAVO!

Sambil membolak-balik lembaran demi lembaran gue memperhatikan silsilah keluarga gue. Gue menyentuh dan mengusap fotonya seolah ingin mengenalnya lebih dekat. Jujur gue kaget mengetahui buyut gue, selama ini bokap gue enggak pernah menceritakan dengan jelas asal usul kami. And I just found out the history of my family.

Silsilah Keluarga Besar Darsodipradjan
Bagan Silsilah
Buku Silsilah

SOROSILAH

Siapakah Darsodipradjan? Beliau adalah eyang kakung bokap gue, means buyut gue! Dilahirkan dengan nama Raden NG Darsodiprodjo. Namanya susah banget ya. Beliau ini masih bangsawan meski bukan turunan langsung Keraton. Makanya ayah beliau mendapat gelar Raden dari keraton sehingga masih dapat diturunkan kepadanya. Jika beliau menikahi rakyat biasa, gelar radennya enggak bisa diturunkan ke anak-anaknya. Dan kakek buyut gue menikahi wanita keturunan langsung Keraton Surakarta. Wanita itu adalah B. R. Ayu Asiyah, putri dari putri langsung Praboe Browidjojo IX yang menikah dengan cucu dari Mangkoe Nagara III. Kedua nama itu adalah nama-nama keturunan kesultanan Surakarta.

My Family Tree

Bingung? Intinya, karena eyang buyut putri masih keturunan langsung keraton oleh karena itu keturunan-keturunannya masih bisa diberi gelar Raden. Jika laki-laki bisa tak terhingga diturunkannya. Gelar akan berakhir pada keturunan perempuan yang menikah dengan pria bukan bergelar raden.

Buku Silsilah Keluarga Keraton Surakarta

Ah aku bangga sama eyang buyut, bisa aja ngedapetin cewe keraton. Semoga eyang tenang di alam sana ya. Terima kasih eyang sudah mencipratkan sedikit darah biru di darah cicitmu ini. 🙂

Jadi dari situ lah semuanya dimulai. Gue teringat siang tadi Eyang Sar menunjukkan ke satu titik pada kertas sebesar poster yang bergambarkan pohon keluarga kami itu. Berawal dari eyang Darso yang menikahi eyang putri Asiyah. Mereka berdua dianugerahi 16 putra dan putri! Astaga, makin salut gue sama buyut gue ini. Sayangnya 6 diantaranya diambil Tuhan YME saat masih kecil –  kecil, sehingga tersisa 10 saja. Dan Bapaknya bokap gue, biasa dipanggil Papih sama anak-anaknya, adalah sulung dari 10 bersaudara itu.

Nama eyang kakung nan tampan dan gagah gue adalah R.M Soeratmo. Beliau adalah prajurit dengan nama gelar Hindrajit. Itulah asal mula nama kepanjangan gue ‘Hindrayanti’. Sayangnya gue sendiri ngga sempat bertemu dengan eyang kakung gue itu. Beliau sudah wafat jauh lebih dulu sebelum bokap gue menikah dengan nyokap gue. Bokap gue memang telat menikah untuk ukuran orang jaman dulu.

10 Eyang

Nah, Eyang Sar itu anak keenam. Jadi om-nya bokap gue. Bokap gue dengan om-nya ini paling akrab. Dulunya sering main bareng katanya hehe.

Putra Putri Eyang Hindrajit
Mitos Keluarga

Di rumah eyang Sar tadi, selain menunjukkan silsilah beliau juga menceritakan beberapa mitos keluarga kami.

“Keluarga kita itu tidak sempurna, ada cacatnya. Ada enggak beresnya. Percaya enggak percaya, ada dua hal kejadian aneh yang terjadi di keluarga Darsodipradjan.” Jelas eyang panjang lebar.

“Pertama, enggak ada keturunan keluarga kita yang lahir kemudian diadakan syukuran atau selamatan. Tujuh bulanan aja enggak. Kalau dilanggar, pasti meninggal enggak lama setelah syukuran.” Begitu kira-kira translate bahasa Indonesianya dengan ejaan yang enggak sempurna juga. Eyang ini masih campur-campur bahasa Jawa kalau berbicara.

Dan mitos itu ternyata memang dipegang teguh oleh seluruh keluarga. Gue pun ternyata sewaktu lahir enggak diselamatin sedikitpun. Aqiqah hal yang berbeda ya, itu wajib dalam islam. Biasanya tradisi keluarga Jawa kan banyak syukuran menyambut kelahiran bayi tuh, nah satupun di keluarga kami enggak ada yang melakukannya. Kata nyokap gue, “Lahir ya lahir aja.”.

Mengapa keluarga gue mempertahankan mitos itu ya? Percaya hal seperti itu bukannya syirik? Kenyataannya, memang pernah ada salah satu anggota keluarga kami yang melanggarnya. Terbukti benar jika diadakan syukuran atas bayinya, enggak lama setelahnya meninggal. Bahkan ada sepupu bokap gue yang istrinya ngeyel (enggak nurut) tetap mengadakan syukuran untuk anak berikutnya setelah anak pertamanya meninggal. Yang terjadi, putranya pun meninggal lagi.

“Ingat itu ndok, jangan dilanggar.” Suara eyang Sar terdengar sedikit bergetar. Gue jadi merinding.

Mitos kedua, membuat bulu roma gue berdiri. Anjiis bahasa 80-an banget enggak sih.

“Di setiap keturunan perempuan, ada saja yang enggak menikah.” nada suara eyang menjadi serius. Lalu eyang menyebutkan tiga nama perempuan di keluarga yang enggak menikah hingga kini. Salah satunya, adik langsung bokap gue. Tante yang akrab gue panggil Ibu, karena dia mengganggap gue anaknya sendiri.

Gue, kakak gue, dan nyokap langsung mengetok meja bersamaan. Amit-amit.

“Makanya, kamu ingetin anak-anakmu supaya segera menikah. Mitos kedua ini untuk memotivasi. Putuskan mata rantai di mana ada perempuan yang enggak menikah di setiap keturunan. Hapus.” Pesan eyang ke bokap gue.

Lalu serta merta bokap dan nyokap gue meng-‘tuh dengerin eyang’ ke gue dan kakak gue. Hati gue mencelos. Pesan ini akan selalu gue ingat. Jangan banyak pilih, kata eyang. Tapi juga jangan sampai menikah karena enggak ada pilihan lain.

Iya eyang, tapi masih mending sih kalau enggak ada pilihan. Daripada belum ada yang bisa dipilih?

Alih-alih memecahkan kecanggungan yang tercipta di antara eyang, gue, dan kakak gue, lalu gue menanyakan satu hal pada eyang. “Kok eyang rajin banget buat silsilah dan senang menceritakannya ke anak cucu ya?”

Jawaban eyang cukup menohok, “Supaya kamu enggak pernah lupa darimana kamu berasal. Kamu tau riwayat keluarga kamu dengan harapan, kamu akan berhati-hati dalam bertindak. Menjaga tutur kata serta selalu santun. Ada nama para eyang yang kamu emban di pundak kamu.”

Ah Eyang, benar sekali. Family is where one (personality) starts from. Kepribadian seseorang ditentukan dari bagaimana ia dididik oleh keluarganya. Didikan keluarga yang sudah lurus, jangan dibuat bengkok.

Gue senang pengalaman kemarin membuat gue tau dan mempelajari silsilah keluarga gue. Karena gue bangga karena, maka gue menuliskannya. Meneruskan sejarah untuk anak cucu gue nanti. 🙂

If you don’t recount your family history, it will be lost. Honor your own stories and tell them too. The tales may not seem very important, but they are what binds families and makes each of us who we are. –  Madeleine L’Engle

Menyandang gelar keturunan langsung Keraton Solo lantas tidak menjadikan aku merasa spesial. Aku tetap orang biasa, bedanya adalah ada beban nama baik leluhur yang aku pikul. Dan menjadi Mia seperti di titik sekarang ini, kuharap para nenek moyangku bangga, tidak berkeberatan, dan merestuinya. Semoga tenang di sana, para Eyang…