Daddy Vs. Him

Pernah nggak, ngalamin masa dicemburuin Bokap karena waktu lo habis buat cowok lo?

Well, been there done that.

In love sama cowok itu emang menyita waktu dan perhatian banget, sampe-sampe gue lupa ada cowok di hidup gue yang enggak kalah pentingnya. Bokap.

Gue emang deket banget sih sama Bokap, meski usia gue udah 20-an (28 juga 20-an kan :p), tapi kalo di rumah kayak anak umur 8 tahun. Gue masih suka bercanda anak kecil sama dia, gue seneng banget main tindih ke dia, atau bobo di pahanya lalu dia elus-elus kepala gue. Kebiasaan yang masih dan gue harap akan terus berlangsung. AMIIIIN.

Sejak kuliah gue meninggalkan rumah sampai kemudian melanjutkan kerja di Jakarta. Jadinya, sudah sepuluh tahun gue hanya pulang semingu sekali atau paling maksimal ya sekali sebulan. Enggak boleh lebih dari itu atau Bokap gue akan ngambek. Iya, doi tukang ngambek. Anaknya kudu sering-sering telepon nanyain keadaannya, atau doi akan ngediemin gue berhari-hari.

Mengetahui sifat Bokap yang sedikit posesif sama gue, membuat gue enggak pernah cerita sama sekali masalah-masalah seputar cinta gue ke beliau. Tapi Bokap bisa rasain anaknya yang lagi sedih diem-diem. Bentuk support dia buat gue dengan cara elus-elus kepala gue, dan itu berhasil menenangkan gue.

Gue menyesal, ya, sangat menyesal pernah menomorduakan Bokap. Ketika itu, gue sedang dekat dengan cowok tentunya.

Enggak cuma waktu yang banyak gue habiskan sama cowok, sampe akhirnya gue jarang pulang. Materipun lebih banyak gue habiskan untuk si cowok. Kalau gue traveling, si cowok dapet oleh-oleh paling banyak melebihi Bokap!

Gebleg!

Bokap gue enggak pernah protes, dia diem aja. Adalah Nyokap, yang waktu itu nyadarin gue kalau gue udah berkurang perhatian ke keluarga. Cenderung lebih perhatian ke keluarga si cowok bahkan. Nyokap sampe bilang, jangan sampe kamu menyesal dan semuanya terlambat.

Lalu tibalah waktu di mana gue dicampakkan oleh si cowok. Gue terpukul, dan kemana lagi gue berlari kalau bukan kembali ke keluarga.

Bokap gue, orang yang tidak pernah menyinggung masalah percintaan gue itu, sampai ikut bersuara, “dengerin Papah ya Ndok, laki-laki itu enggak baik, kamu jauhi dan lupakan dia ya.”

Ah, gue merasa tertampar. “Papaaaaaah…”

“Go home frequently, cause someday someone will steal you from me and build you a new home.”

I smile listening to his words. I know one thing, I may not a man’s special woman yet, but I will always be a Daddy’s little girl. And it makes me special.

🙂

Sejak saat itu, Bokap kembali menjadi prioritas gue. Gue harus bersyukur punya Ortu yang masih lengkap yang harus gue curahkan segenap waktu dan perhatian gue kepada mereka. Betapa pelajaran hidup itu berharga ya…

So, khususnya para cewek, jangan sampe kepedulian kamu ke pacar melebihi kepedulian ke Bokap ya. Harus imbang, ingat selalu sama dua cowok penting dalam hidup kita. Cowok bisa nyakitin hati kita, tapi Bokap enggak akan pernah lukain perasaan anaknya.

Don’t spend most of your time for your beloved man, your Daddy deserves more. Be there always for him before too late or you may regret it. Ever.

Nah, compare ke cowok spesial dalam hidupmu, seberapa dekat kamu dengan Ayahmu? Do you know his size or favorite things as well as your man? Let’s start listing it. Contoh dari gue tapi ini dulu ya 😉

Daddy Vs Him.
Shoe size: 41 Vs 42
Clothes size: L Vs L
Things:
-          Demen masakan yang kecut Vs Nasgor mania
-          Coffe lover Vs Coffee hater
-          Ex smoker Vs Heavy smoker
-          Sama-sama ngambekan 😀

As Long As We Got Each Other

Inget film Deep Impact?

Armageddon? End Of The World? Atau 2012?

Semuanya tentang kisah di mana dunia sedang mendekati akhirnya. Dan di film-film itu diceritakan bagaimana para penghuni bumi melakukan berbagai persiapan menghadapi hari akhir tersebut. Yang dapat gue cermati dari film-film itu adalah, at least mereka diberikan waktu untuk menghadapi hari akhir itu.

Bagaimana jika tanpa ada tanda sedikitpun. Suasana pagi hari terasa tenang, cuaca berawan, dan burung berkicauan. Lalu tiba-tiba Malaikat meniupkan terompet sasangkala, pertanda kiamat tiba?

Ah, mungkin contoh gue terlalu besar, itu tadi kiamat besar. Oke, masih banyak kiamat kecil lainnya yang terjadi tiba-tiba. Kun Faya Kun, maka terjadilah. Gunung meletus. Bencana tsunami. Gempa. Kematian.

Tak ada peringatan. Tak ada persiapan.

Begitupun yang terjadi melanda tempat gue bekerja, pertengahan November kemarin.

Tak ada yang menjanggal di pagi hari ketiga gue bangun tidur. Seperti biasa hal pertama yang gue pikirkan di pagi hari adalah, hari ini mau pakai baju apa ya?

Sampai di gedung kantor juga tak ada peristiwa yang aneh. I’ve come to this building for a hundred times and everything was normal.

Suasana di pagi itu baik-baik saja, gue bertegur sapa dengan para security, front office, dan rekan kerja lain. Gue turun sarapan jam 9 seperti biasa dengan sahabat gue yang kerja masih di lingkungan satu gedung dengan gue. Gue ingat, we both even took some silly pictures lalu bercanda dan tertawa.

Gue kemudian melanjutkan pekerjaan setelahnya, dan jam 11 muncul sebuah kabar berita mengejutkan.

Rasanya seperti dikabari kerabat dekat meninggal mendadak!

Kami semua shocked. Tak percaya akan keputusan yang sudah dibuat. Tapi apa daya, palu sudah diketuk. Kami hanya bisa pasrah dan menanti arahan.

Kemudian di sore harinya seluruh pegawai yang mencapai angka 1,000 dikumpulkan oleh pimpinan kami. Bagaimana ya gue dapat menggambarkan suasana saat itu…hmmm oke, Film Titanic.

Ketika si raksasa laut menabrak gunung es, dalam hitungan jam si hitam ‘unsinkable’ itu nyatanya tenggelam juga. Penumpangnya tentu panik, karena kematian di depan mata.

Seperti itulah yang kami rasakan saat itu. Berada dalam keadaan penuh ketidak-pastian dengan status resmi PHK. Berbagai macam pikiran dapat terbaca di mimik tiap wajah yang berkumpul di town-hall meeting dadakan tersebut. Yang jelas semuanya memikirkan nasib dan masa depan masing-masing.

Dan di sinilah peran seorang pemimpin dibutuhkan. Di hadapan kami, beliau memberikan speech-nya yang mengharukan. Ada perkataannya yang membekas di benak gue.

“Mungkin Tuhan cemburu akan kedekatan seorang pimpinan dengan stafnya. Mungkin kalian terlalu mencintai saya. Oleh karena itu Tuhan memisahkan kalian dari saya. Jadikan ini ujian, untuk semakin mendekatkan diri kepada-Nya.”

Standing applause for him.

Beliau menangis, kami pun menangis.

Baru kali ini gue melihat pemimpin sehebat-hebatnya pemimpin. Dan gue yakin benar, semakin kencang anginnya, akan semakin kokoh pohon. Dan angin yang menerpa beliau begitu besar, sampai akhirnya tumbang juga.

Kembali ke Titanic, ada adegan mengharukan yang gue masih ingat. Yaitu beberapa gentleman pemain musik klasik yang di saat kapal menjelang tenggelam, mereka tetap menjalankan tugas sebagai penghibur. Di akhir musik selesai dimainkan, mereka saling bersalaman dan mengucapkan,

“Gentleman, It’s been an honor to work with you.”

Itu juga yang gue rasakan pada rekan-rekan kerja gue. Gue baru tiga tahun berkarir dan harus berakhir dengan cara yang menyakitkan. Sepertinya kebahagian dan kebersamaan kami direnggut begitu saja. Tapi apapun yang terjadi, di tengah segala ketidakpastian ini kami mencoba bertahan dan saling mendukung. Menyontek line popular dari serial TV jaman gue TK, The Growing Paints:

As Long As We Got Each Other .

Seperti the unsinkable ship, Titanic pun pernah sombong sebelum terpuruk menjadi bangkai di dasar laut. Mencoba positif, ya mungkin selama ini kami sombong dan meremehkan banyak pihak. Ini adalah teguran, tapi kami tidak akan seperti Titanic yang tenggelam, kami justru akan terus maju dan menjaga profesionalisme serta bekerja sesuai kewajiban kami. Kami yakin, sebuah akhir adalah awal yang baru.

Awal yang lebih baik sudah menanti di depan kami.

Alhamdulillah, per tulisan ini di-publish, sudah ada kejelasan mengenai nasib organisasi dan seluruh SDMnya.

Terima kasih atas dukungan berbagai pihak, tak luput juga teman-teman terdekat yang peduli.

It means a lot for us 🙂

Joey McIntyre Was Outside The Window!

Joey McIntyre Was Outside The Window!

Ada yang bilang di dunia ini ada 7 orang dengan wajah yang memiliki kemiripan. Tujuh orang tersebut tidak memiliki hubungan darah dan tersebar ke berbagai sudut di ruang bumi ini. Dan yang aku temui ketika berada di dalam Atomium, Brussels, Belgia, adalah seorang pria yang sangat mirip dengan Joey McIntyre, penyanyi yang juga salah satu personil New Kids On The Block. Dua orang yang mirip, yang satu artis dengan kekayaan melimpah. Sedangkan satu lainnya sedang bergelantungan dari ketinggian 100 meter di luar jendela, karena profesinya sebagai cleaning service. Sadar akan para pengunjung wanita yang terpesona pada ketampanannya, ia pun dengan ramah menebarkan senyumannya.

Foto ini diikutsertakan dalam #TurnamenFotoPejalan 7: Hello human! (http://windy-ariestanty.tumblr.com/post/35701697368/turnamen-foto-perjalanan-ronde-7-hello-human)

Tipe Kepribadian Wanita Dilihat Dari Kosmetik

Wanita dan kosmetik.

Keduanya sudah seperti sepasang sahabat baik. Kosmetik lah yang sangat-sangat mengerti kaum gue, yaitu kaum bukan-wanita-yang-polos-tanpa-make-up-saja-cantiknya-kayak-bidadari. Kami ini, butuh di-endorse sama make-up supaya lebih pede.

Sedangkan kaum wanita-yang-polos-tanpa-make-up-saja-cantiknya-kayak-bidadari itu, meminjam istilahnya mbak Yessy Muchtar (yessymuchtar.wordpress.com), disebut cantik effortless. Nggak perlu usaha banyak juga udah cantik.

Bukan berarti si cantik effortless itu juga enggak butuh kosmetik. Mereka juga memakainya supaya lebih kece, lebih enak dilihat.

Gue sendiri mulai berteman dengan kosmetik sejak memasuki dunia kantoran. Hari pertama menjadi pegawai, gue baru berani memakai pewarna bibir yang terkenal disebut dengan lipstick. Selama kuliah paling cuma lipbalm doang. Bedakpun ya asal bedak aja, belum tau apa yang namanya foundation.

Lalu mulailah gue tergoda dengan berbagai kosmetik yang membuat para cewek-cewek di kantor gue jadi lebih kece. Saat mata mereka berkedip, kelopak matanya berwarna! “Aku mau juga kayak gitu!” teriak gue dalam hati.

Gue kemudian berkonsultasi sama nyokap gue, dengan malu-malu, layaknya remaja yang baru pertama kali mendapatkan menstruasi, gue menanyakan, “Mah, Sex itu apa?” @!@#$$#*^%$^%#

Nggak ding.

“Mah, ajarin Mia make-up-an dong.” Pinta gue ke nyokap. Dan nyokap pun mengerutkan jidatnya sambil memandang anaknya from head to toe. Mungkin dalam hati dia berpikir…”Wah, bayiku sudah jadi wanita dewasa.”

Nyokap mengeluarkan seperangkat alat kosmetiknya dan dengan tegas bilang sama gue, “Tapi nanti kosmetiknya beli sendiri, ya. Kan udah bias cari duit sendiri.” Ah Mamah, tak rela sekali perlengkapan dempulnya dipakai sama anaknya.

Iya, Mah. Iya.

Setelah pengalaman pertama bersentuhan dengan berbagai alat bikin cantik itu, hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun, koleksi make up gue makin banyak dan lengkap. Bukan, bukan karena gue butuh banyak usaha untuk cantik. Tapi gue suka banget sama dandan. Berikut ini perlengkapan cantik gue yang dikategorikan jadi 3.

>> Kosmetik ‘berat’ yang cuma dipake sekali-kali, pesta misalnya, dan gue simpan di make up box yang lumayan besar.

>> Kosmetik harian yang gue pake monday to friday di kantor, enggak too much, tapi juga enggak natural banget.

>> Kosmetik untuk traveling, palette kecil yang isinya udah lengkap dari bedak, lipstick, eye shadow, dan blush on. Praktis dibawa untuk traveling kemana-mana.

Gue enggak mau cerita tentang jenis dan fungsi berbagai kosmetik yang ada di muka bumi ini sih. Gue bukan make up consultant juga dan masih bego juga meski pernah ikutan make up class. Gue mau share analisa gue, tentang kepribadian wanita dilihat dari kosmetiknya. Here we go.

1. Tipe Royal

Si tipe ini prinipnya, buat kulit kok coba-coba. Bisa ketebak dari caranya yang teliti sebelum memilih kosmetik. Dia akan browsing dulu, nggak sungkan juga konsultasi sana sini, buat tau apa foundation yang paling nempel di kulit, bedak yang enggak mudah luntur, bla bla bla. Nah segala kosmetik yang ter-ter-ter itu ya pastinya harga enggak bisa bohong lah. Mahal berat. Jadi cuma cewek berduit yang royal beli kosmetik mahal. Nah yang begini gampang nih dimanfaatin cowok. #oops

2. Tipe Eksis

Cewek yang beli kosmetik yang emang lagi booming, cocok apa enggak urusan belakangan yang penting beli dulu. Gaul dong cuys, kalau perlu abis beli difoto deh tuh kosmetik dan diupload di instagram. Kasih judul: My best friends…atau my mood boosters.

3. Tipe Labil

Doi pasti gampang banget ikut-ikut temen yang punya lipstick baru atau bedak baru. Mudah percaya juga sama omongan “katanya yang bagus merk ini loh”. Belum juga habis kadaluarsa kosmetik yang ada, udah beli lagi. Numpuk deh *straight face*

4. Tipe Agamis

Tipe cewek yang begini ribet banget deh meriksain konten dalam kosmetik ada unsur babi-nya apa enggak. Sampe pelayan toko segala ditanya, “Ada babinya enggak?” Ya mane die tehe, cek aja sendri ke Lab, sis.

5. Tipe Peduli

Cewek yang selalu ngecek kosmetik ada merkurinya or enggak, trus rajin nyatet tanggal beli dan tanggal kadaluarsanya. Doi peduli banget tuh artinya sama kesehatan, dan biasanya peduli juga sama sekitarnya. Tipe oke untuk dipacarin banget. Halah.

6. Tipe Misterius

Cewek misterius pasti hobi make kosmetik waterproof. Doi enggak mau ketauan nangis dengan belebernya maskara karena air mata. Doi juga make lipstick waterproof biar enggak ninggalin bekas bibir di kemeja si om. #eh

7. Tipe Minimalis

Doi cukup make caring or Viva or Puteri, or berbagai kosmetik lainnya yang cukup didapat di Indomart. Minimalis banget deh budgetnya. Piss!

8. Tipe Susah Move On

Kalau sudah cocok dan nyaman sama kosmetik kesayangannya, enggak akan berpaling deh. Mau digosipin si kosmetiknya mengandung merkuri dan dapat membahayakan juga BODO.

Itu sih menurut analisa suka-suka gue. Kalau kamu, termasuk tipe yang mana? 🙂

A Gentle Smile In Amsterdam

In front on the tram
In front on the tram

Cik!

Aku berlari melewati hujan, yang menimbulkan bunyi gemericik akibat sepasang bootsku beradu dengan genangan air. Hujan tiba-tiba saja menyerbu di saat aku sedang menikmati suasana di negeri tanah rendah ini. Ya, tanah rendah, the lower land, atau dalam bahasa Dutch disebut The Nether Land.

Begitulah asal mula bagaimana negeri yang pernah menjajah Indonesia selama 3,5 abad lamanya disebut, The Netherland. Rendah, karena berada sekian kaki ribu di bawah permukaan laut.

Dan aku, berkesempatan untuk mengunjungi ke Amsterdam, ibu kota negara itu. Sayangnya, perjalananku bertepatan dengan musim winter, dimana hampir setiap hari turun hujan.

“Miw…tunggu.” panggil Arin, teman seperjalanku di Amsterdam.

Dia selalu ingin menjadi satu-satunya orang yang memanggilku dengan nama selain Mia atau Mimi, nickname-ku. Dia bahkan pernah mengatakan padaku seperti ini, “Kalau ada lagi yang manggil lo Mimiw, kasi tau ya. Gue cari nickname lain.”

Ada-ada saja travel mate-ku kali ini.

“Buruan, Rin. Kita naik tram aja ya daripada ujan-ujanan.” Suaraku meninggi agar Arin dapat mendengarnya, di tengah hembusan angin dan curahan hujan yang saling bersautan.

Kalau di Indonesia, aku suka berlarian di bawah hujan. Hujan tropis yang hangat dan sejuk dapat mengusir segala gundahku. Romantis sekali. Tapi di Belanda, air yang jatuh mencubiti kulit mukaku sampai sakit rasanya. Tak ketinggalan angin kencang yang membawa udara dingin menembus coat tebalku. Jadi, ketika hujan tiba-tiba datang ya kami harus segera berteduh.

We saved by the bell. Untung saja kami tepat sampai halte dan masih dapat memasuki tram sebelum kereta mini itu melanjutkan lajunya. Jadi nggak harus berteduh lebih lama di halte.

Tram adalah salah satu alat transportasi umum di Amsterdam, selain kereta dan taksi. Tram ini mungkin seperti monorail, kereta mini dengan lintasan 1 rel. Jarang sekali ditemui kendaraan roda empat maupun roda dua yang mengeluarkan polusi asap.

Selain itu, hampir separuh penduduknya menggunakan sepeda. Bahkan di sepanjang jalan, banyak diparkir sepeda. Hal tersebut menyebabkan kota Amsterdam sungguh luar biasa sejuknya.

Hujan membuat tram agak penuh dari biasanya. Setelah menempelkan kartu akses 24 jam seharga 7.5 euro atau sama dengan 93,750 rupiah, aku masuk ke dalam sambil menyapu pandangan ke seluruh isi tram ini mencari kursi kosong. No result found.

Udah mahal-mahal, berdiri pula. Keluhku dalam hati. Cukup mahal memang biaya hidup di Amsterdam. Tak terkecuali transportasi. Untuk dapat menggunakan seluruh alat transportasi umum sepuasnya di Amsterdam, tiket yang tersedia selain one-trip yaitu 1-hour-access, atau 24-hour-access. Hari ini aku membeli yang perhari, sesuai prediksiku seharian akan banyak diguyur hujan. Sehingga tak memungkinkan jika berjalan kaki.

Yasudahlah, yang penting kan enggak kehujanan. Aku mencoba menyenangkan hati sendiri.

Kereta mini yang aku naiki kemudian dengan gesit menyusuri bangunan-bangunan yang berdiri sejak tahun 1600-an ini. Amsterdam memang sangat mempertahankan sejarah. Tata kota yang meski tua, justru membuatnya terlihat unik. Aku sungguh menikmati perpaduan bangunan, kanal, dan kapal kecil yang menghiasi pemandangan dalam kereta. Jadi, meski berdiri, aku tak merasa susah.

Teng. Teng.

Begitu bunyi klakson tram ketika berjalan dan memberi peringatan, agar pejalan kaki maupun pengendara sepeda memperhatikan kereta yang lewat.

Aku sungguh menikmati tram, pemandangan di luar jendela, bunyi, ah segalanya. Sampai-sampai aku tak menyadari ada kursi kosong di belakangku. Yang semula menempatinya baru saja turun di halte tujuan.

“Miw, tuh duduk.” perintah Arin sambil menunjuk ke arah kursi kosong.

Setelah aku duduk Arin menanyakan tujuan kami kepadaku, “Jadi turun di mana? Berapa halte lagi, Miw?”

Biarlah peta yang menjawabnya. Aku mengeluarkan teman kesayangan Dora itu dari tasku. Sekilas, dari sudut mataku aku merasa diperhatikan oleh pria yang duduk di sebelahku. Aku meliriknya, benar saja, dia memang tadi memperhatikanku. Namun ia segera mengalihkan perhatiannya seoalah ketakutan dipergoki.

Tampan. Aku tersenyum ke-GR-an dalam hati.

Tapi aku langsung ingat bahwa di negeri Holland ini banyak beredar copet juga. Dan copet di sini tentu saja ganteng. Aku reflek menutup resleting tasku dengan cepat. Apa salahnya berhati-hati kan.

Aku membuka petaku, dan mencari-cari daerah yang hendak aku datangi. Kami ingin menuju Rijks Museum, di depannya ada tulisan I am sterdam yang terkenal itu. Kami ingin berfoto di manifesto kebanggaan Amsterdam tersebut.

“Rin, tiga halte lagi kita turun ya. Abis itu ganti tram.”

Aku menoleh lagi, pria di sampingku itu kembali memperhatikanku.

Ah, matanya biru dan bening. Ingin rasanya berlama-lama menyelam sampai ke dasarnya. Aku mendadak gugup dan sulit bernapas.

Oh my God!

Akupun kembali berkutat dengan petaku. Aku melihat lagi ke luar tram, kendaraan ini sedang berhenti di halte berikutnya. Dan aku bisa melihat pantulan pria itu dari jendela. Dia memperhatikanku dengan seksama.

Seketika aku merasa kegerahan, padahal tadi sempat menggigil kehujanan. Dengan malu-malu aku menoleh padanya lagi.

Dan kali ini, ia tersenyum. A gentle smile that makes me warm.

Astaga, he’s so damn cute! Mungkin senyuman ter-cute yang pernah kulihat selama tiga hari menjadi turis di kota ini.

Aku merasakan jantung ini mulai berdebar cepat. Aku lirik lagi, ia tersenyum lagi. Aku menunduk lagi. Begitu seterusnya sampai tram kembali berhenti.

Satu halte lagi aku akan turun, jadi aku tidak boleh melewatkan kesempatan baik ini. Ada pria bule tampan dan menggemaskan di sampingku lalu aku harus diam saja?

Tidak, it’s now or never. Aku buang segala ketakutanku dan mengumpulkan segenap nadi keberanian yang aku punya.

Aku menghela nafas sejenak, sebelum akhirnya nekad menanyakan namanya.

Hi, what’s your name.

He’s Sebastian. Isn’t he cute, huh?” ucap wanita yang menggendongnya di pangkuan.

Yes, he’s charming. I love his smile. Hi Sebastian..” aku menyalaminya dengan memegang tangan mungilnya.

Ia menggelembungkan ludah dari mulut mungilnya, pertanda sedang sangat riang.

Dengan masih memegang jemarinya, aku mengatakan kepada Ibunya sambil tersenyum, “You’re so lucky to have a cute baby like Sebastian.”

Aku ingin juga punya anak bule selucu ini! tekadku dalam hati, tepat sebelum pintu tram terbuka di pemberhentian tujuanku.

-THE END-

Di-publish untuk working-paper.com

Half Life Part 2

Sebenarnya udah lama banget gue pingin nge-post tulisan ini. Tapi berbulan-bulan cuma nangkring di draft gue. Kenapa part 2, karena sebelumnya pernah menulis posting-an dengan judul yang sama.

Biar enggak bingung, baca dulu deh ya part 1-nya.

Udah?

Nangis?

Haha.

Half Life, lagu yang diciptakan sendiri dan dinyanyikan oleh Duncan Sheik. Pertama kali gue tau lagu itu dari sahabat gue, ya you know lah. Konon, lagu itulah awal gue mulai jatuh hati sama dia. (Konon, bisa jadi cuma legenda :p)

Lagunya sedih banget, tapi nyandu! Denger deh nih youtube-nya.

Dan Alhamdulillah, gue berkesempatan bisa nonton konsernya Duncan Sheik di Bandung sekitar bulan Juli tahun lalu. Luar biasa rasanya mendengarkan lagu favorit gue dinyanyiin langsung sama penyanyi aslinya!

Tulisan ini adalah tentang cerita di balik konsernya yang enggak pernah gue share sebelumnya.

Back to July 2011.

Saat itu sedang masa krisis-krisisnya hubungan gue dan si sahabat gue itu. Demi membuat gue melupakan sayangnya sama dia, dia pernah benar-benar pushing me away. Semua BBM gue di-ignore. Kami saling diam berhari-hari.

Untungnya gue dinas ke Bandung setelah itu, jadi lumayan enggak terbebani sama pertengkaran dengannya. One week getaway really worked for me.

Dan munculah kabar tentang konser amal kecil-kecilan Duncan Sheik di Dago Pakar. Tiketnya 300ribu sajah! I was like, seriously? Pas banget gue di Bandung pula. Gue langsung kontak temen gue di Bandung dan dia mau nemenin, ahey! Senang bukan kepalang rasanya gue akhirnya bisa nonton musisi favorit gue itu.

Tiket Duncan Sheik
Tiket Duncan Sheik

Lalu gue-pun saat itu menuliskan sebuah tweet.

Nonton konser Duncan Sheik bareng kamu, dengerin lagu kita Hakf Life dinyanyiin langsung penyanyinya. #Impossible

Mana mungkin, pertama konsernya di Bandung dan si kamu di Jakarta. Bisa aja sih sebenarnya, tapi kedua, kan lagi musuhan.

Lalu muncul notifikasi Twitter di smartphone gue.

Dari si Kamu!

Sebuah reply dan terdiri satu kata “Mauuuuu”.

I was totally upset at that time, and his reply wouldn’t make me feel better. At all. I didn’t comment his ‘mauuu’. I kept on silent.

Lagipula kalau emang benar-benar pingin kenapa enggak usaha baikan sama gue dan nyusul untuk nonton konsernya?

Jadilah, di jumat malam ketika itu, gue tetap nyuekin mention-nya dan menikmati setiap alunan lagu yang dinyanyikan Sheik yang sudah mulai menua ini. (Waktu jaman gue SMP doi masih seganteng John Mayer gitu deh :*)

This is it, pikir gue saat itu, pas MC meneriakkan, “Let’s give it up for Half Life.”

Gue langsung merekam moment membahagiakan itu, dan saking menghayatinya tanpa sadar mata gue meneteskan air. Ada bahagia, haru, sedih. Bercampur.

I wish you were here. This is our song…

Ini hasil rekaman gue: Half Life.

Lagu Half Life selalu menjadi penyelamat hubungan gue dan sahabat gue itu. Saat awal-awal pisahnya kami, tulisan gue di Half Life part 1 yang membuat kami jadi dekat lagi.

Setelah pulang ke Jakarta dari Bandung dengan perasaan bahagia abis nonton Sheik, kami baikan lagi.

Dan ketika akhirnya hubungan kami benar-benar mengikis selama berbulan-bulan. Puncaknya bulan April 2012, kami bertengkar hebat. Pertengkaran yang diawali oleh keputusan gue yang ingin melepaskannya, dengan menghapus semua kontaknya. Gue lelah dan tak lagi ingin mempertahankan hubungan apapun dengannya, bahkan persahabatan kami sekalipun.

Namun lagi-lagi Half Life mengingatkan kami mengapa kami akan terus menjadi sahabat di hati meski sudah tak dapat saling berinteraksi.

“Kalau lagi sedih, tetep denger Half Life ya. Gue ada nemenin lo lewat lagu itu. Sedangkan fisik gue, nggak lagi bisa. Gue harap lo bisa nerima.” ucap gue di akhir cekcok kami.

April 2012, resmi kami berjauhan, namun saling berjanji tetap berteman dan tak lagi saling membenci.

It’s great how one song can be a reason for two people to remain friends.

Well, good job, Sheik 🙂