Aku di Bintang 5, Kamu di Bintang 4: Jarak Yang Memisahkan Kita

Masih ingat tulisan gue yg judulnya: ‘Aku di Kelas Ekonomi, Kamu di Kelas Bisnis: Jarak Yang Memisahkan Kita’?, kalau lupa atau bahkan belum baca, coba deh dibaca dulu. Hehe.

Di tulisan itu menceritakan kejujuran gue yang mengagumi pria-pria matang. Tapi hanya kagum ya, karena gue sadar diri. Para pria yang menua dengan sempurna itu sudah jauh sukses. Bahkan beberapa, naik pesawatnya duduk di kelas bisnis. Gue? Ya di kelas ekonomi aja udah syukur. Jadi, pria-pria dewasa itu ngga lebih dari sekedar mimpi buat gue.

Dan sungguh realita tidak sejalan dengan mimpi.

Di usia gue yang sudah pantas menikah dan memiliki anak ini, gue malah masih sendiri. Belum dikasih jodoh terbaik hanya satu2nya alasan yang dapat menghibur saat ini sih. Bukan berarti gue ngga berusaha ya. Gue mencari kok. Dan yang paling mudah adalah mencari di lingkungan terdekat. Yaitu lingkungan pekerjaan.

Faktanya, tipe cowo yang gue inginkan itu sudah ‘occupied‘. Boro-boro yang jauh lebih tua, yang seumur aja sudah pada menikah. Ngga ada yang single!

Koreksi, ada. Tapi umurnya di bawah gue.

Makin kesini, klien-klien gue semakin muda aja. Tentunya mereka memanggil gue dengan sebutan ‘Mbak’. Dan hubungan kami ngga lebih dari klien-auditor. Belum ada satupun yang kurang ajar, ehm, sok dekat atau akrab lah sama gue. Intinya, meningkatkan hubungan kerja menjadi pertemanan. Itu penting buat gue yang tipenya pelan-pelan membangun kecocokan dengan seseorang. Gue harus berteman terlebih dahulu.

Tapi sepertinya sulit. Gue ngerti sih kalau ada di posisi mereka. Punya auditor yang masih single, mandiri, tapi lebih tua. Yang sejak awal sudah terbiasa memanggil dengan sapaan ‘Mbak’. Terbiasa juga menerima perintah dari mbak auditor dan permintaan data yang sudah kayak teror. Bagaimana mau menjalin keakraban di luar kerjaan? Well, bukan berarti ngga bisa dekat sama gue. Gue cukup dekat kok sama klien-klien gue. Hanya saja, seperti ada prinsip ‘Jalinlah keakraban sampai di meja meeting’.

Salah satu klien gue, perempuan, suatu waktu semangat banget bilang sama gue. “Mi, Mi. Orang keuangan yang nanti ikut meeting masih single loh. Sepertinya seumur.”

Maka berkenalanlah gue dan si klien baru gue itu. Menjaga kesopanan di dunia kerja sudah pasti dia manggil gue Mbak, gue manggil dia Mas. Sembari meeting diselipi dengan obrolan basa-basi pastinya. Tinggal di mana, asal mana, kuliah di mana, dan JENGJENG, angkatan berapa. “Mbak Mia angkatan berapa?” Cara klasik untuk tau umur dengan sopan. Dan kecanggungan di antara kami menjadi lebih lebar setelah informasi angkatan itu diketahui.

Gue langsung ijin ke restroom, supaya ngga keliatan muka gue yang kecewa. Gue butuh ngomong sama diri gue sendiri di depan kaca. “Damn, lebih muda!” So, ngga boleh sedikitpun berharap hubungan kami meningkat dari kerja ke pertemanan. Apalagi sampe berharap akan berlanjut serius lebih dari berteman. Karena kecil kemungkinannya. Dan gue ngga mau kecewa. Lagipula, ada gengsi dikit lah sebagai auditor. Ngga boleh kecentilan dan ‘SKSD’ sama klien apalagi kalau ketauan ‘ngarep’. Harga diri woi!

Lalu ngga lama si Ibu yang mau jodohin gue itu nyamperin ke toilet. Dengan hebohnya dia cerita. Setelah gue dan si Mas ngobrol yang berlanjut gue jedug-jedug di toilet, si Mas bilang “Yah Mbak, katanya seumur. Kok lebih tua sih? Segan, ah”

See, untung gue ngga ngarep dan sudah tau bakal begini sejak awal. Dengan gaya elegan gue hanya menjawab “Haha, brondong ya. Males ah.” Pura-pura ngga tertarik.

Dan ternyata, beberapa pria melihat gue itu cewek ‘untouchable‘. Mereka menganggap gue sebagai auditor mereka yang selain baik hati tentunya (narsis dikit gak apa-apa dong), gaya gue di depan mereka itu elegan, cerdas, berkelas, tegas, mandiri, dan kadang…galak. Tipe dikagumi tapi bukan untuk didekati. Juga ada faktor gengsi yang tidak mau merusak hubungan kerja kami. Akan ada kecanggungan luar biasa pastinya kalau ‘perjodohan’ kami gagal. Jadi amannya, ngga usah macam-macam sama mbak auditornya ini.

Sedih? Sedikit. Pusing? Ngga. Belum ketemu yang pas aja kan. Satu hal, gue ngga akan merubah diri gue. Ini diri gue apa adanya. Dan gue bangga menjadi ‘Miss Independent‘ di mata mereka. Suatu saat pasti akan ada yang berani menaklukan si Miss Independent ini kan. Pencarian masih terus berlanjut 🙂

Another week, another meeting. Kali ini gue meeting lagi dengan banyak muka-muka baru. Here we go, dalam hati gue.

Suatu waktu, gue meeting dengan Perusahaan Minyak lokal terbesar di Indonesia yang diadakan di Hotel berbintang 5. Gue sudah hapal banget. Kalau berdasarkan golongan, jatah mereka menginap dibedakan menjadi hotel bintang 5 dan bintang 4. Rata-rata yang seumur gue sudah boleh menginap di bintang 5. Jadi gue akan dengan mudah memprediksi usia para klien gue dari hotel menginapnya.

Dan cowok ini, muka lama tapi kebetulan baru pertama kali meeting di meja gue. Gue bahkan tidak pernah tau namanya selama ini. Setelah meeting selesai, sambil menuju giliran klien yg lain meeting dengan gue, bisa-bisanya dia sok akrab ngajak gue ngobrol. Obrolan dengan topik ngga penting. Tapi hei, kok gue malah suka ngobrol dan ketawa-ketawa sama dia. Padahal baru 1 jam bersama di meja meeting. Lalu gue teringat satu hal, yang harus gue tanya sebelum keakraban ini terjalin di luar meeting.

“Oya, ngomong-ngomong, nginap di hotel ini juga ngga?” tanya gue dengan harap-harap cemas.

“Belum nyampe golongannya, Mbak. Jatahnya masih hotel bintang 4 nih.” jawabnya sambil nyengir polos.

Oh crap! Not again.

Posted with WordPress for BlackBerry.

5 thoughts on “Aku di Bintang 5, Kamu di Bintang 4: Jarak Yang Memisahkan Kita

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s