Tinderella Story: Mr. (swipe) Right – Part Three (The End)

Pict from keena-equinox.com
Pict from keena-equinox.com

When I find someone that makes my heart skip a beat, I’ll stop the search and take the risk.

Previously on Tinderella Story part two:

Gue galau sih karena sudah sebulan sejak peristiwa Puncak (halah) itu kami belum tau juga kapan akan bertemu lagi. Males aja gitu kan kalau kami cuma telponan dan berkirim sexy messages doang. Lama-lama gue bosan juga pasti. (Cerita lengkap di sini)

 

Untungnya memang jadwal kami beneran enggak pas untuk ketemu, jadi gue lumayan rileks. Akhir November kemarin gue juga sempat ke Lombok seminggu penuh, pas gue balik eh dia ke Solo untuk acara Jambore Nasional Mercy. Dia pulang eh gue pergi lagi Ke Bandung. Sabar, Mi. Not to hurry, nothing good gets away.

“Kamu kapan pulang nduut?” tanyanya yang hampir saja memancing gue untuk menjawab, “Kangen ya?” Tapi gue tahan lah. Gengsi dong. Hehe.

Selama gue di Bandung dan di sela-sela gue yang sibuk parah, di malam hari gue selalu ketagihan untuk ngobrol sama dia sebelum dia tidur. Iya, sebelum dia tidur…karena gue harus kerja lagi sampai tengah malam. Pffft. Dan meskipun jauh, dia juga bisa membuat gue merasa aman. Hotel yang rada bikin parno bikin gue enggak bisa tidur sebenarnya, but one good night kiss from him can make me feel so much better. Aeh 🙂

Perubahan di diri gue ini mulai tercium oleh orang-orang di sekitar gue. Gue terlihat sibuk selalu dengan HP gue plus senyum-senyum. Enggak sedikit yang pada kepo sama gebetan baru gue ini. Kadang, di Indonesia belum lazim ya bertemu pacar lewat online gitu. Gue sendiri awalnya sempat bohong sama beberapa teman, enggak mau terus terang kalau gue dan Denny ketemu di Tinder. Tapi lama-lama gue enggak peduli juga apa kata orang, jodoh memang bisa ketemu dari banyak jalan kan.

One thing for sure, I don’t care how we both met. I’m just glad we did.

Kembali ke rencana pertemuan gue dan dia berikutnya yang juga enggak jelas. Gue sih udah kirim kode kalau bakal ada film The Hobbit terbaru dan gue pingin banget nonton itu. Tapi dia alihin pembicaraan dan berhasil bikin gue gemesssss. Sampai lah di hari Rabu sore kami telponan dan dengan sangat mendadaknya dia bilang “Kita nontonnya malam ini aja yuk.”

Gimana gue enggak gedabak gedubuk cobaaaa….

Mungkin gue memang belum ada perasaan yang lebih sama dia, tapi unpredictable-nya dia itu malah bikin gue penasaran.

Rabu malam tanggal 17 Desember 2014 kami bertemu lagi di Setia Budi One. Di pertemuan kedua ini gue enggak mau buat dia nunggu jadi udah maksimal banget lah gue siap-siapnya biar enggak sampai telat kayak pas mau ke Puncak kemarin. Taunya pas gue sampai Setia Budi, dia juga sudah di situ dong. Beda banget deh ya waktu gue sama yang lama, kayaknya banyakan gue yang nunggu dia.

Gue berdiri di lobi sambil menanti kedatangan dia dari parkiran mobil. Perlahan gue lihat bayangan dia mendekat sampai akhirnya gue bisa benar-benar melihat Mr. Swipe Right gue. Dalam hati gue kembali bersyukur, untung saja gue swipe right dia ya.. 🙂

“Hai, apa kabar?” sapanya.

Enggak ada yang berubah sejak sebulan lalu, Denny masih pria yang nice, sopan, dan menyenangkan. Sama sekali enggak seperti dirinya kalau kita sedang saling mengirimkan sexy messages. Hehe.

“Kita ngopi dulu yuk sebelum nonton.” Ajaknya yang langsung gue sambut dengan antusias.

Secangkir Americano coffee dan segelas lychee ice tea jadi saksi obrolan kami malam itu. Dia bersemangat bercerita tentang Elvaro anaknya yang justru membuat gue jadi makin kagum.

“Jarang lho ada cowok single mau adopsi anak. Pasangan yang sudah lama menikah tapi belum punya anak aja kadang suka malas adopsi.” Selidik gue.

“Itung-itung bagi rejeki. Lagian kan aku suka anak kecil.”

“Kenapa enggak bikin sendiri aja, Dutt?” Kenapa gue nanya gini sih, nanti disangka kode kalau gue ajak dia bikin bareng kan x_x

“Kan belum menikah, nanti kalau sudah ada istri.” Fiuh gue lega dengar jawabannya. Berarti Denny ini memang lurus. Mudah-mudahan.

Sambil berjalan menuju XXI, tiba-tiba dia berbisik di telinga gue, dekat sekali…gue sampai risih. Cuma untuk bilang ini…

“Mia, mantan aku jaman kuliah bahkan lebih gemuk dari kamu lho. Tapi dia baik banget. Kayak kamu…”

Cieeeeee. Aaaaw.

“Tapi sering disakitin, Dutt.” Gue timpali ucapannya itu yang dia balas lagi dengan “Itu kan mantan kamu yang sakitin. Aku sih enggak akan.”

Ah, don’t make promises of something that you can never keep, Dutt.

Sepanjang nonton, jujur dia membuat gue nyaman. Enggak seperti kebiasaan gue sama yang dulu yang flat-flat aja kalau nonton, sama Denny ini beda. Dia kerap kali goda-goda gue sambil senggol-senggol manja.

“Mia jangan nangis, Mia.” Goda dia di tengah film, sambil mendempet lengan gue. Gue balas saja dengan mendempet dia juga. “Kamu kali yang nangis.” Lalu kami sama-sama tertawa.

Gue bahkan sadar dia tengah memperhatikan gue yang serius nonton. Lalu ketika gantian gue yang lihatin dia, dia tersenyum. Senyum yang sama waktu kami saling menggoda di dalam mobil menuju Puncak. I will always remember his signature smile yang malu-malu itu.

God, is he the one? Dalam hati gue terus bertanya. Jangan buat gue jatuh cinta dulu pada pria ini ya Tuhan. Masih banyak misteri pada dirinya. Intuisi wanita gue enggak bisa diabaikan.

***

Kira-kira jam 11.30 malam, dia mengantar gue pulang. Gue sempat bertanya padanya “Kita akan ketemu lagi, nggak?”

Dia menegaskan iya, dia akan sempetin bertemu gue di sela kesibukannya. Saat itu sebuah peraasan aneh muncul di perut gue.

I can’t tell the difference between the butterflies in my stomach and the pain that I think I’m going to get hurt again.

Tiba-tiba gue insecure akan kehilangan dia. Bagaimana kalau malam ini adalah pertemuan kami yang terakhir?

Gue melangkah masuk ke kamar kos gue sambil terus membuang pikiran jelek gue. Baru saja sampai kamar dan berganti pakaian, tau-tau dia telpon.

“Kenapa, Dutt? Nyasar ya?”

“Temenin aku ngobrol dong sampai aku nyampe rumah. Sepi nih.”

AAAAAK! JOGET-JOGET!!

Di percakapan telpon malam itu dia kembali menceritakan rahasia hidupnya yang membuat gue semakin appreciate dia. Dia ternyata diangkat anak juga sama Ortunya di Jogja. Ortu kandung masih ada di Kebumen. Itu mengapa dia melakukan hal yang sama karena dia merasa hidupnya jadi beruntung setelah dipungut keluarga lain. Jadi dia murni ingin berbagi dengan anak kecil yang susah.

Isn’t he sweet?

The moment we said goodbye that night, yang sama-sama agak enggan mengakhiri telpon, membuat gue jadi yakin bahwa cerita gue sama dia akan berlanjut lebih dari pertemanan.

He is my too good to be true. My prince. My destin-der. My tinder fella.

I was happy at the moment. But I was afraid, because every time I was too happy…something bad happened.

Benar saja. Tiga hari kemudian, tepatnya Sabtu malam gue menerima telpon dari seorang cewek.

Cewek itu mengaku istrinya.

JEGERRRRR.

Lutut gue lemas. INI KENAPA HIDUP GUE KAYAK SINETRON GINIII???!!!

Gue bingung dan segera menghubungi Denny yang enggak aktif dong ya HP-nya. Pusing lah gue. Gue mulai mengingat-ingat setiap cerita yang pernah disampaikan Denny.

“Mia, kamu sih komen di FB aku. Nanti jadi ketauan mantan aku. Kamu enggak sadar kan kalau kamu tuh lagi dipantau. Kamu jaga-jaga aja suatu waktu diganggu dia.”

Saat itu gue enggak terlalu peduli sih. Ah masa bisa segitunya dapat info tentang gue?

Dan gue jadi kepikiran apa iya benaran nih mantan pacarnya yang neror? Aduh si Denny enggak bisa dihubungin semalaman. Gue enggak bisa tidur ya Tuhan iki piye??? Banyak pertanyaan yang enggak bisa juga terjawab sampai gue ketiduran. Dari mana mantannya bisa dapat nomor gue? Kalau dia sampai begitu berarti ada sesuatu yang berarti di antara mereka. Apa? Kalau memang mantan, kenapa sekarang enggak ada kabar dari Denny? Jangan-jangan memang beneran istri?

Gue berasa jadi Cameron Diaz di The Other Woman ketika pertama kali tau cowok yang dikencaninya sudah beristri. Bingung dan marah.

Shit! Now I’m the other woman???

Untung saja akhirnya Minggu pagi ada kabar juga dari si Denny, yang langsung bercerita kalau cewek itu adalah mantannya yang kembali mengganggu. Menurut Denny, mantannya yang sakit ini masih berusaha menggagalkan setiap Denny mulai dekat dengan cewek. Ini sudah kali ke-empat dan Denny mulai capek menghadapi mantannya ini.

Menurutnya, si cewek datang ke bengkel dan merebut HP-nya jadi dia bisa baca What’s App kami. Dari situ juga si cewek dapat nomor gue.

Aneh sih. Masa iya segitunya? Tapi apa hak gue untuk enggak percaya juga. Toh kami masih berteman. Tapi gue penasaran banget dan feeling gue mengatakan ada yang ditutupi oleh Denny.

Denny bilang dia enggak mau menyusahkan gue dan mau lindungi gue dari mantannya yang sakit jiwa itu. Awalnya dia minta maaf dan bilang kalau lebih baik kami saling menjauh saja. Dia kasihan sama gue yang kena apesnya. Ya masa kami selesai begini saja, gue enggak mau lah. Lalu akhirnya dia minta komunikasi kami sementara jangan intens dulu, apalagi ketemuan. Sebagai cara meyakinkan gue, Denny juga mengirimkan isi sms mantannya yang menyumpah-nyumpah dan meminta gue dan Denny enggak berhubungan lagi.

Menurut gue Denny kurang tegas. Harusnya dia bisa menyelesaikan masalahnya dulu sebelum kembali berhubungan sama gue. Gue mencoba yakinkan Denny kalau gue enggak akan ninggalin dia. Gue mau kok jalanin sama dia. (Berasa ada backsound lagu ‘walau badai menghadang….’)

“Aku enggak rela kalau kita bubar cuma karena mantan kamu yang enggak penting. Kalau kita enggak jadi karena enggak cocok malah lebih fair. At least kita berdua sudah berusaha.”

“Kamu kuat? Kalau dia ganggu kamu lagi gimana?” tanyanya.

Senin malam setelah kejadian gue dilabrak mantannya, melalui telepon kami sepakat kalau hubungan kami akan baik-baik saja. Itu mampu membuat gue tenang sih.

“Den, kalau nanti kita jadian…”

“Mudah-mudahan..” Potongnya.

“Dengerin aku duluuuu. Maksud aku, kalau nanti kita jadian kamu harus bisa bikin mantan kamu enggak ganggu aku lagi dong.”

Denny hanya diam.

Diam yang enggak pernah gue duga kalau dia akan diam seterusnya. Tak ada kabar dari Denny keesokan harinya. Mendadak Denny menghilang.

Semua pesan gue enggak terbalas, belasan telpon gue pun enggak dijawab. Setelah sekian lama gue kembali merasakan spaneng karena hal ini. Berjuta pertanyaan muncul di otak gue. Ada apa ini? Denny kemana?

Sore harinya gue sadar dia sudah men-delete Path dan FB gue, bahkan nomor gue juga di-block dari What’s App-nya. Gue putuskan menyelidiki langsung ke bengkelnya. Man, jiwa auditor gue terpanggil. Gue langsung ajak tukang ojek langganan gue dan menuju ke Cipete.

Alhamdulillah ya gue enggak sulit menemukan bengkel mobil di daerah Cipete yang enggak jauh dari Kemang Village. Gue langsung masuk ke kantornya tapi sangat disayangkan Pak Denny sudah pulang.

Bengkel ini lah kuncinya. Hasil ngobrol-ngobrol dengan beberapa karyawannya, gue malah dapat banyak fakta mengejutkan tentang Denny atau yang punya nama samaran Azka.

DAMN!

Jadi benar dong itu istrinya? Gue anggap benar dengan kaburnya Denny ini. Meski orang bengkel enggak tau pasti apakah Pak Denny sudah menikah apa belum. Tapi mereka juga enggak mengenali foto mantan Denny yang gue tunjukan. Padahal kan menurut Denny, karyawan bengkelnya kenal baik sang mantan yang dipanggil ‘Ibu bos’. Another bullshit.

Entah mana yang benar yang jelas, Denny ini sudah gue cap pembohong. He made up story about his life. Segera gue mengetikkan pesan via What’s App dari nomor gue yang lain kalau gue sudah tau semuanya dan bahwa dia pembohong. Dia langsung block gue.

Well, not to mention he’s also a coward.

Kabur, man. Kabur!

Kayak rekaman yang langsung muncul di ingatan gue betapa manisnya sikap dia selama ini ke gue..dan itu palsu. Syukurlah gue masih dilindungi, belum sampai jauh sama Denny dan terbongkar sudah kebohongannya. Bau busuk cepat atau lambat memang akan tercium juga. Dia membuktikan dirinya yang sebenarnya. Gue sudah dipermainkan mentah-mentah olehnya.

He was selling me dreams but then delivering me a nightmare.

Gue jadi ingat salah satu pembahasan kami dulu di telpon. Dia minta pendapat gue untuk berhenti dari komunitas Mercy dan akan ganti nomor lalu menghilang. Gue dengan polosnya melarang dia melakukan hal itu. “Jangan ah, Den. Jangan pernah menciptakan kesan tidak baik pada siapapun.”

Harusnya di situ gue sadar, kalau Denny ini memang tipe cowok yang lebih memilih kabur dari masalah.

Bagaimanapun juga, gue masih beruntung daripada isterinya sih. Semoga dia sabar punya suami buaya.

Kejadian ini bikin gue berani menyimpulkan enggak ada deh cowok yang emang normal dan benar main Tinder. Rata-rata cowok iseng semua di situ. Rata-rata lho ya.

Semoga dia baca tulisan ini karena dia harus tau, gue cewek yang punya harga diri. Gue memang sedang butuh kasih sayang tapi bukan berarti bisa dimanfaatin cowok seenaknya.

Bukan kekayaan yang bisa buat gue impressed, bukan mobil mewah yang dapat membuat gue jatuh cinta. Dulu bahkan gue mampu sayang pada pegawai pabrik yang hanya memakai motor bebek. Tapi kesederhanaan yang dapat memenangkan hati gue. Gue pikir dia begitu penuh kesederhanaan yang akan menghargai wanita seperti ucapannya selama ini. Tapi nyatanya…satu lagi pria brengsek yang singgah di hidup gue.

Dear Denny, semoga kamu senang tulisan tentang kamu sudah beredar luas dan dibaca banyak orang. Ini kan yang kamu mau?

Kamu memang memiliki kaki yang utuh, tapi hati kamu kemana? Sadar Den, tobat. You better save your drama, for your karma.

 

 

 

 

 

 

 

Pelajaran besar buat hidup gue dan semoga bisa berguna untuk orang lain juga. When you meet someone that is too good to be true, maybe he isn’t real…

Teman-teman, gue share tulisan ini dengan tujuan enggak ada lagi yang terjebak dengan cowok-cowok iseng di luar sana. Mereka bahkan mampu membentuk dirinya terlihat sempurna, tapi justru yang seperti itu lah yang patut dicurigai. Hati-hati juga kalau kenal lewat apapun itu atau bahkan dikenalin dengan cowok bernama palsu Azka.

Good luck untuk para Tinderella yang masih mencari pangerannya. Kalau gue sih sudah uninstall Tinder, for a better life.

P.S Benar juga ya kata penutup video College Humor tentang Tinderella…they’re finally happy because they never spoke again 😀

 

Tinderella Story: Mr. (swipe) Right – Part Two

Pict from sillymollymandy.com
Pict from sillymollymandy.com

I’m ready to love a stranger in some strange way..

Cerita sebelumnya: Seorang cewek naif mencoba peruntungannya mendapatkan pasangan serius di aplikasi sosmed Tinder (baca part one di sini)

Azka. Atau Denny– dia minta gue panggil dengan nama Denny, selalu menekankan kalau gue enggak perlu minta banget untuk ketemuan. Katanya better kami nikmati saja dulu masa-masa ini. Gue pun nurut. Kalau sudah ketemuan memang rawan sih. Kemungkinan terbesar adalah salah satu pihak kecewa dengan fisik atau kepribadian yang lain, sehingga hubungan pun malah akan berakhir. Kami berdua sama-sama mengkhawatirkan hal itu.

Katakanlah gue beruntung, salah seorang sahabat gue ternyata punya teman anak Mercy juga yang kebetulan mutual friends dengan Denny di Path. Gue cukup butuh dua info sebelum melanjutkan hubungan dengan Denny.

  1. Single
  2. Baik-baik

Dari sang informan itu gue jadi cukup yakin untuk lanjut sama Denny. Yang penting bukan laki orang dan bukan penjahat kelamin. #PENTING

Cuma berselang dari seminggu setelah kami telponan, di tengah chat kami yang enggak jelas tiba-tiba dia mengajak gue bertemu. Dia minta ditemani pergi ke Puncak, makan sate kambing langganannya.

Buset.

Jelas lah gue curiga dia punya maksud yang enggak benar dengan membawa cewek ke Puncak di pertemuan pertama. Tapi gue penasaran dan enggak mau kehilangan moment ini, takutnya susah lagi dia ajak gue ketemuan.

Bermodalkan omongan sang informan, gue mengiyakan ajakannya.

Jumat 14 November 2014. Gue enggak akan pernah lupa seumur hidup gue, jumat malam itu mungkin salah satu a perfect first date yang pernah gue alami. Bukan nonton plus makan malam romantis, tapi makan di restoran sederhana di daerah Puncak. Entah kenapa enggak ada sedikitpun rasa takut untuk pergi bersamanya. Gue malah merasa aman.

Jam 9 malam dia menunggu gue di parkiran Setia Budi One, lokasi terdekat dari kos gue. Begitu sudah di lobi, gue memberitahukannya dan enggak lama setelahnya sebuah Outlander silver melaju dan berhenti di depan gue berdiri.

Segera gue masuk ke dalam mobilnya yang disambut dengan tangannya yang menjabat gue.

“Azka.”

“Mia.”

Lalu kami berdua terdiam sepersekian detik sebelum akhirnya saling tersenyum. Kesan pertama setelah berkenalan, dia manis dan ramah. Bagusnya kami berdua sama sekali enggak saling canggung dan bisa asik ngobrol di sepanjang jalan yang macet.

“Kamu enggak mikir kalau aku cewek gampangan karena mau diajak ke Puncak kan?” tanya gue saat itu.

“Kok kamu mikirnya begitu?”

Lalu dia meyakinkan gue kalau enggak ada maksud apa-apa selain murni kepingin ditemani makan makanan favoritnya.

“Lagian kalau yang deket-deket masa habis makan trus pulang gitu aja? Kan aku mau ngobrol lama sama kamu.”

Aeh matek. Pinter banget nih cowok ngerayu.

You know what, nge-date sama cowok bertanggung jawab itu memang sangat menyenangkan ya. Satu hal yang gue perhatikan dari Denny ini ketika gue menolak makan tengah malam karena harus diet, dia paksa gue makan karena enggak mau gue sakit.

“Mau aku suapin?”Gue menolak dan langsung menggeleng yang kemudian diikuti dengan rasa menyesal. Hehe.

Gue merasa justru dia enggak lebay. Justru dia emang care banget sama gue. Ya kan? Ya kan?

Lima jam bersamanya malam itu malah membuat gue merasa enggak percaya dengan apa yang sedang gue hadapi. Sambil mendengar alunan lagu Glory of Love-nya Peter Cetera yang diputar di mobil dia, gue melamun…

Oh God…he’s just too good to be true.

Dia pengusaha sukses, menarik, baik, sopan, dan bertanggung jawab. Dia bahkan bilang suka dengan cewek gendut kayak gue. Karena biasanya cewek gendut itu punya kasih sayang yang besar. Oh itu sih sudah enggak perlu diraguin lagi :p

Oke gue harus meyakinkan diri sendiri kalau dia hanya gombal dan enggak serius. Cowok seperti dia enggak perlu takut jomblo, banyak lah pasti yang ngejar. Kira-kira apa ya intensi dia ke gue? Baiklah gue ikutin saja permainan dia sampai dimana.

Di perjalanan gue juga banyak bercerita tentang kisah cinta sebelumnya. Ketika dia bercerita tentang mantan yang enggan dia sebut namanya, gue masih bisa melihat rasa sakit yang tertinggal di matanya. Mereka berpisah dalam keadaan masih saling cinta, tapi kedua keluarga tidak merestui. Enggak terlalu detil yang dia ceritakan, curang sih karena dia kan malah sudah tau tentang kisah gue dari blog. Tapi gue bilang sama dia kalau gue enggak peduli masa lalu dia seperti apa. Dia pun menenangkan gue kalau saat ini sang mantan sudah menikah, enggak perlu khawatir katanya.

Malam itu gue sempat terdiam beberapa saat dan enggak fokus pada obrolannya. Dia enggak pernah tau apa yang gue pikirkan. Dia enggak tau kalau gue sedang bertanya-tanya dalam hati mungkinkah dia adalah jawaban dari doa gue selama ini?

Gue memang pernah meminta pada Tuhan untuk dikirimkan pria yang pernah patah hati sehingga dia sudah tau rasanya dan enggak akan menyakiti gue. Gue juga pernah meminta ingin mencintai orang asing yang baru saja masuk ke hidup gue, jadi dia lebih bisa menerima masa lalu gue.

And people said when you know that you may find the one, you will just know..

Ketika tadi setelah kami bersalaman gue mendengarkan suara cadelnya yang ketukar melafalkan huruf ’r’ dan ‘l’ seperti, “Aku tadi dali bengker.”

Ya ampun lucu banget sih. Gemez. Gue langsung mengkoreksinya dengan, “Dari bengkel kali..bukan dali bengker.”

Dia langsung tersenyum dan mencolek tangan gue. “Kamu tuh seneng banget ya goda-godain aku.”

And suddenly I just know, that I want this silly conversation for the rest of my life.

Ah shit, terlalu cepat gue mikir ini. He’s just a stranger out of no where ya, Miii. Bisa saja dia itu sebenarnya serial killer, kan.

But look at this guy sitting beside me. Dia persis sepeti apa yang gue minta selama ini. Bukan pria keren atau punya materi melimpah, cukup dia yang mampu menerima gue apa adanya. Tapi si Denny ini punya materi yang enggak sedikit juga, terlihat dari mobil mewah yang dikendarainya dan cerita dia mengenai harta bahkan hutangnya.

Oke, gue mulai takut. Gue berasa upik abu beneran yang ketemu Pangeran. Well hey, is it possible that the tinderella has just found her destin-der? Mendadak gue pun ingin minta bantuan Doraemon untuk lihat foto masa depan gue dengan Denny.

😀

Tiba-tiba suara cadelnya memecahkan lamunan gue, “Kamu enggak mau ya kalau ketemu aku lagi? Capek ya?”

“Hah? Apa? Kuping aku dengung jadi enggak gitu dengar.” Emang bener sih, abis turun dari Puncak jadi dengung.

“Kamu mau nggak ketemu aku lagi? Karena aku nggak bisa sekali ketemu terus suka, butuh proses..”

Dalam hati bersorak “HORAAAAAYYYY”. Tapi muka tetap cool dong. “Yaudah, berikutnya nonton yuk.” ajak gue yang dilangsung diiyakan olehnya.

Kesimpulan dari pertemuan pertama tadi, kami berdua sepakat untuk melanjutkan hubungan ini dari teman, kalau berjodoh itu lah nilai plus-nya. Ya tetap saja gue takut malah dia yang enggak sreg sama gue. Bagaimana komunikasi dia ke gue paska pertemuan pertama akan jadi pembuktian.

Dan setelah dia antar gue ke kos jam 2 pagi, begitu sampai rumah dia langsung mengirimkan What’s App yang isinya mengabari kalau sudah sampai. Gue sendiri malah langsung terlelap. Hahahaha -___-“

***

Berarti Tinder enggak jelek dong ya??? Gue beruntung dong dapat yang benar di Tinder??

Keesokan harinya pun kami masih berkomunikasi dengan baik, itu yang bikin gue semakin menikmati hubungan ini. Sampai akhirnya….gue menemukan Facebook-nya.

Di sinilah drama di mulai. JENGJENG.

Hasil kepo semalaman, gue menemukan satu foto yang membuat gue shock. Dia bersama anak kecil dan komen yang bisa gue baca di situ mengarahkan kalau anak itu adalah anaknya! CRAP! Gila gue enggak bisa tidur karena kepikiran terus. Gue enggak mau punya hubungan dengan suami orang!

Keesokan harinya gue pun segera minta penjelasan, dia agak marah karena menurutnya gue adalah orang baru yang belum saatnya diceritakan hal pribadi. Gue tetap mempertahankan pendapat gue kalau enggak mau berteman dengan suami orang. Apalagi sudah sayang-sayangan. Oh. Please.

Syukurlah dugaan gue enggak terbukti, anak itu menurut dia adalah anak yang dia angkat dari salah satu RS karena kasihan dan dirawatnya dari umur 3 bulan sampai sekarang usianya hampir 4 tahun. Dia berjanji akan menunjukkan bukti adopsinya kelak bertemu gue lagi. Hmmmmm. Menurut lo gue akan percaya?

Gue akan pura-pura percaya sampai terus menggali bukti kebenarannya. Tapi kalau memang dia jujur, gue malah semakin kagum dengan kemuliaan hatinya. Lewat video call, anaknya pun kemudian diperkenalkan pada gue. Sayangnya Elvaro, nama anak itu, malu-malu dan enggak mau ngomong.

Andai kata anak kandung pun ya gue gak masalah, asal status dia saat ini single. Misal pernah menikah pun juga enggak apa-apa buat gue. Jujur gue lega sih kalau memang benar itu anak angkatnya, yang kini tinggal di Jogja bersama orang tuanya Denny.

Setelah kejadian gue menemukan FB dan kisah dramatis tentang anaknya, hubungan kami malah tambah intens. Dia bisa tiba-tiba telpon gue dan kami mengobrol lama. Dia bahkan mengajak gue berandai-andai “Kalau kita menikah nanti…”

Wajar enggak sih kalau gue jadi N to the G to the A to the R to the E to the P. NGAREP!?

Apalagi dia juga punya panggilan khusus ke gue yang sayangnya ngeselin banget. DIA MANGGIL GUE NDUTT. SIAL (tapi senang kaaan :3)

tinder 14

Gue balas saja memanggil dia Dendut.

Setiap ada pesan masuk dari dia yang memanggil gue ‘ndutt’ malah mampu membuat gue senang. Iya, gue tersenyum lagi setelah sekian lama 🙂

Rasanya gue pingin nyanyi banget…

I choose you as my man and you take me as I am… Can’t believe you take me as I am…

Choose him? Really? Kadang gue masih bertanya-tanya dalam Doa gue.

Dia tuh sebenarnya tidak memenuhi syarat yang pernah gue tetapkan untuk jadi suami. Gue dulu pernah berharap laki gue nanti bekerja di bidang yang sama supaya ngobrolnya nyambung. Dia juga harus punya pendidikan lebih tinggi dari gue karena gue suka cowok pintar. Tetang gue yang maniak traveling, maka gue juga mau suami gue nanti punya hobi yang sama.

Kenyataannya dia adalah orang bengkel yang lulusan SMA dan dia takut naik pesawat! Beda dunia dan beda hobi.

And I just realized, when I’m with him..I’m breaking my own rules.  Yes, we’re two of kind and forever we will always be combined.

Kenapa gue jadi yakin buat lanjut menjalani hubungan sama dia karena selain dia menerima gue apa adanya, he also has turned me into the best version of myself, terutama dalam hal beribadah.

Not to mention, gue juga jadi benar-benar lupa sama yang lama! Yey gue totally move on and so ready to move in.

Ealah tapi dianya suka juga enggak nih sama gue? Taunya gue cuma GeEr lagi. Hadeuh. Apalagi sebulan setelah ketemuan pertama kami berdua belum juga sempat ketemuan lagi. Dia yang too good to be true dan gue yang too naïve to perceive malah bikin gue jadi galau lagi kan…

Gimana kelanjutan gue sama si Denmas ini, bersambung ke part 3 ya gaes. Promise you that the story will be more tinderesting 😀

Tinderella Story: Mr. (swipe) Right – Part One

Before reading this story, please watch this video by College Humor: Tinderella, A Modern Fairy Tale.

You may not find Mr. Right, but you can always find Mr. Swipe Right.

Apa? Swipe right? Maksudnya? Yang main Tinder pasti ngerti.

Pict from storyofmylifecards.com
Pict from storyofmylifecards.com

Tinder adalah aplikasi di smart phone yang khusus dirancang untuk pemakainya menemukan teman baru. Cara mainnya dengan memilih foto lawan jenis sesuai kriteria jarak dan usia. Kalau suka tinggal swipe right, kalau enggak tertarik ya swipe left. As simple as that. Jika sama-sama suka, artinya ‘match’. Kalau sudah begitu boleh deh pasangan tersebut untuk chat di menu yang tersedia pada aplikasi tersebut.

Pict from huntnewsnu.com
Pict from huntnewsnu.com

Tujuan awalnya memang mulia sih ya, menambah teman. Tapi kalau dasar untuk berteman yang dipilih adalah fotonya, disinilah menurut gue agak klise. Berarti ada ketertarikan di antara keduanya untuk jadi lebih dari teman.

Benar saja, ada artikel bagus tentang penelitian terhadap penggunaan Tinder di berbagai negara berikut ini: Tinder Fuels Indonesia’s Digital Sexual Revolution (http://thejakartaglobe.beritasatu.com/blogs/tinder-fuels-indonesias-digital-sexual-revolution/)

Ternyata, memang tujuan seseorang memasang Tinder tidak hanya mencari teman, melainkan mencari ‘teman’. Iya ‘teman’ atau kerennya ‘friends with benefit’ atau ‘teman tapi mesra’. When expectation becomes sexpectation. Tidak terkecuali di Indonesia, bahkan berdasarkan artikel tersebut di Jakarta termasuk kategori paling haus hasrat sexual.

:s

Tapi bukan berarti semua pengguna Tinder begitu kok, sebagian kecil masih naif berharap dari Tinder dapat bertemu pacar bahkan berjodoh. Salah satunya ya gue. Pffft.

I was a tinder-ella who’s desperately in searching for tinder-fella.

How silly I was, pernah suatu ketika secara enggak sengaja swipe left foto cowok keren dan gue merasa ‘Damn! He might be my soulmate but now he’s gone..’

😀

Baiklah. Di tulisan kali ini gue mau blak-blakan bercerita tentang pengalaman gue di Tinder. Kiddo, this is the story of how I met my Mr. Swipe Right.

***

Pengenalan gue dengan Tinder diawali dengan cerita salah satu sahabat gue yang baru saja mendapatkan gebetan via aplikasi dating tersebut. Lalu dia menyarankan supaya gue ikutan juga. Ya sekalian saja buat pengalihan karena gue baru patah hati (LAGI) karena hubungan enggak jelas gue sama si ‘mantan jadi sahabat’ (yang ngikutin kisah gue pasti tau) akhirnya kandas juga. Dengan keyakinan untuk fucking move on again and again, gue install deh si Tinder di Iphone gue.

Gue dapat beberapa ‘match’ tetapi dari hasil chat kami banyak yang enggak gue terusin karena jauh dari asik dan ada yang langsung nyerempet ke ‘sex’. Oke tapi gue masih berpikir positif (apa naïf?), palingan cuma dikit lah yang tujuannya sex. So, gue lanjutin sampai akhirnya dapat juga 2 cowok yang lumayan enak diajak ngobrol. Dan dua-duanya minta pindah ke What’s app.

Dari dua cowok itu, segera saja salah satunya tereliminasi karena baru dua hari chat, arahnya–ujung-ujungnya– ke sex juga. Jadilah tinggal satu cowok yang bertahan. Nama profil Tinder-nya Azka. 31 tahun. Jakarta.

I found him tinder-esting.

Ada yang menarik dari Azka. Dia dengan jujurnya bilang kalau dia dari kampung (tepatnya Kebumen) yang mencari nafkah di Jakarta dengan usaha bengkel. Bahkan dia tidak malu mengakui bahwa dia hanya lulusan SMA. Awalnya gue sempet waduh-waduh nih. Ya jujur lah hari gini kadang milih jodoh kan kayak milih karyawan. Ada syarat minimal berpendidikan tinggi dan enggak cuma di bangku SMA. Gue sendiri ragu sebenarnya, kira-kira kami berdua bisa nyambung apa enggak ya. Ada ego muncul kalau gue lulusan S1 FEUI yang punya slogan sombong paling sial jadi Menteri lalu malah berjodoh sama cowok lulusan SMA.

So what?

Kok gue jadi merendahkan orang gini? And who I am to judge? Miii ini masih temenan Miiii. You’re not expecting to meet someone online and marry him, right? Gue mengingatkan diri sendiri. Ya maklum, dari awal kan tujuan gue main Tinder untuk dapet destin-der, eh, destiny. Akhirnya gue putuskan untuk tetap mencoba berteman sama Azka apapun latar belakangnya. Karena above all, kejujuran dia lebih penting kan.

“Kamu kerja apa, Mia?” tanyanya.

Gue pun karena enggak punya tujuan main-main ya cerita apa adanya kalau gue kerja kantoran sebagai auditor, yang langsung ditanggapi dengan.. “Oo.. Kamu orang hebat dong.”

Duh. Semoga dia enggak tinder, eh, minder.

Seharian chat via Tinder, dia mulai ajak gue pindah ke What’s app.

“Mirip ya nomor hp kita..” lalu dia terkekeh yang gue tangkap sebagai sinyal ‘kayaknya kita jodoh nih’. Shit! Gue mulai ketinderan.

Di luar dugaan gaya bicaranya yang sederhana dan dia yang mau mendengarkan ocehan malah bikin gue mau nanggapin chatting-an dia. Setelah beberapa hari bahkan dia niat banget baca blog gue ini hanya untuk cari tau tentang gue. Di situ gue jadi makin suka sama dia. Tapi kemudian dia menghilang. What’s app-nya enggak aktif lagi sampai akhirnya gue lupa sama dia.

He’s probably my soulmate and now he’s gone…forever.

Keep trying enggak ya cari cowok lagi di Tinder? Tapi kok malas ya. Toh kebetulan kerjaan gue lagi banyak dan sering dinas, gue ikut lupa deh sama Tinder.

But he’s back!!!!

Sebulan kemudian, tiba-tiba Azka menghubungi gue lagi. Katanya waktu itu HP dia hilang dan dia akhirnya berhasil menemukan nomor gue lagi di aplikasi Tinder. Jujur, gue suka dengan usaha dia yang masih mau mencari gue. Gue cewek gitu, semua cewek kan suka kalau diusahakan. Mungkin kalau gue jadi dia.. hilang yasudah, tinggal cari yang lain.

Tapi karena gue lagi galau dan kangen sama yang lama, ya kan manusiawi ya kalau rasa sedih itu muncul lagi. Gimanapun juga gue emang belum bisa 100% lupain yang lama. Jadi gue ogah-ogahan balas chat Azka. Cuma bertahan 2 hari lalu dia pun berhenti menghubungi gue.

Yasudah. Mungkin memang bukan dia makanya gue pun setengah hati. Saat itu gue sedang di titik lagi senang-senangnya sendiri. Belum mau share kehidupan pribadi gue sama orang lain.

Lalu entah apa yang membuat gue di suatu malam sebulan kemudian, mungkin sedang bosan dan mulai oprak-aprik aplikasi sosmed Path. Exactly foto dia muncul di daftar recommended people to be friend with, tapi kok namanya Denny?

Gue pun iseng mengirimkan pesan What’s app padanya. Gue menemukan Path dia dan niat gue What’s app untuk minta ijin add plus basa-basi menanyakan kabar. Dia menjelaskan ternyata Denny atau Denmas itu nama panggilan oleh teman-teman dia. Hmmm. Oh. Gue enggak ambil pusing deh masalah nama. Gue pun enggak berniat ngobrol lama sama dia karena baru saja sampai di KL untuk liburan. Tapi kemudian dia mengirimkan pesan ini…

“Aku suka foto Line kamu, kamu sexy sekali…”

Duh. Aduuuuhhhh. Bingung gue menanggapinya. Tapi siapa sih cewek yang enggak suka dipuji?

Setelah itu, hubungan kami malah berkembang. Chat kami semakin intens sampai hampir dua minggu, tak jarang kami pun akhirnya saling mengirimkan sexy messages. Memang sih cukup aneh mengingat baru saja kenal via online tapi dia sudah manggil gue sayang dan bahkan mengirimkan ‘kiss‘.

tinder 5

Ya gue tau itu enggak serius, di pikiran gue dia juga pasti begitu ke beberapa kenalan cewek lain dari Tinder dong. Intinya saat itu gue cuma berpikir, yasudahlah jabanin saja siapa tau bisa jadi teman dan sukur-sukur jodoh (teteuuuup ya ke jodoh :p).

Have I mention that I was a tinder-ella who’s desperately in searching for tinder-fella? Wajar dong ya. Apalagi kalau dapat pesan seperti ini.

tinder 4

But at that time I keep telling my self that he was joking. Yeah pinter banget ngajak bercanda beginian ke cewek yang sudah berumur dan menanti jodoh.

Tapi kemudian komunikasi kami meningkat ke jenjang telepon.

Di telepon itu lah kami mulai berbicara dengan serius. Kami saling bercerita tentang masa lalu, keluarga, kegiatan, hobi, bahkan pandangan ke depan mengenai berkeluarga. Dunia dia benar-benar jauh dari gue. Dia mengaku pengusaha bengkel dan cuci mobil di daerah Cipete. Kerjaan sehari-hari ya mengotak-atik mobil dengan tangan belepotan oli, sedangkan gue berpenampilan rapi karena harus bertemu klien dan berkutat dengan dokumen. Dia juga hobi banget beli mobil Mercy sampai tergabung di club Mercy 202. Waw! Ternyata dibalik kejujuran dan kesederhanaan dia yang cuma lulusan SMA, dia adalah pengusaha muda yang sukses. Dia terpaksa menghentikan pendidikannya untuk fokus usahanya ini. Dia juga cerita pertama kali bagaimana mencari uang sendiri untuk mendapatkan sepeda impiannya.

“Sampai saat ini, sepeda itu aku gantung di rumah untuk pengingat kerja kerasku dulu.”

Yah, gue mulai impressed nih sama dia.

Oh iya. Katanya dia main Tinder juga disuruh sahabatnya. Siapa tau nemu jodoh. Begitu saran sahabatnya itu.

Tapi gue masih bingung sih, harusnya enggak sulit buat dia dapat cewek. Anak Mercy gitu lochhhh! Tapi kata dia, dia rada minder kalau hadepin cewek. Itu kenapa teman dia lakik semua. Ah masa sih??!

Dari telponan pertama kali itu, satu hal yang gue simpulkan dari dia adalah cowok yang mempunyai niat untuk komitmen serius. Dan sepertinya..gue mulai terbuai dengan ucapan dia yang bilang ingin menikmati proses dengan gue pelan-pelan dari teman. “Enggak ada sedikitpun niatan aku yang enggak baik ke kamu.” tekannya. Dia juga bilang biasanya easy come easy go, dan dia enggak mau itu terjadi di gue. Iye deh masnyeee…

Naluri cewek yang merangkap auditor jelas gue enggak bisa percaya kata-kata orang. Tapi gue akan pura-pura bego untuk menggali lebih lanjut tentang orang tersebut. Ya begitulah gue. Hehe.

Entahlah memang gombal sih, dia juga bilang enggak melihat fisik gue karena yang dia cari dari perempuan adalah kecerdasan untuk mendidik anak-anaknya kelak. Gue sendiri heran dia mau begitu terbuka sama gue tentang hidupnya dan gue pun mempertanyakan itu ke dia. Dan jawaban dia sungguh bikin hati gue ikutan tersenyum saat itu, “Enggak tau, sama kamu aja aku mau terbuka. Sama kenalan di Tinder lain sih enggak.”

Baeklah. Tapi ini sih malah makin kayak warning buat gue untuk enggak percaya bulet-bulet sama dia.

Minggu berikutnya di tengah sexy(or dirty?) messages kami yang hampir tiap hari itu, dia tiba-tiba mengajak gue bertemu dengan satu syarat, jangan pernah menyesal setelahnya. Dia meminta gue untuk enggak menilai dia dari fisik. Ya ampun, cuma cowok idiot atau alien kali yang begitu.

Kok belum ketemu saja gue sudah suka dan gue punya keyakinan dia lah orang yang tepat untuk gue selama ini. Aaaak, gue mendadak jadi naïf banget.

“Mia, kalau kamu nanti ketemu aku lihat aku enggak punya kaki…ya kamu harus terima.” Begitu ucapannya yang bikin gue ngerasa nyesss.

Well I don’t mind dating the one without leg, since I’ve dated the one without heart before…

Jumat, 14 November 2014 akhirnya gue bertemu langsung sang Mr. Swipe Right. How was the detail of the meeting and what happened after, I’ll write in the second part of the story ya gaes hehe.