P U T U

Sore tadi gue iseng main ke Plaza Semanggi. Di sana baru saja dibuka sebuah Nail Art Shop yang sedang mempromosikan paket mempercantik kuku dengan potongan harga 50%. Lumayan banget buat gue yang modis (baca: modal diskon) ini :p

Sambil rebahan di kursi eksekusi, gue di-pedicure sama mbak-mbak pelayannya. Gue asik memantau Timeline dan ber-BBM ria untuk mengisi waktu. Lalu ada seorang wanita memasuki ruangan toko menuju tempat kasir. Gue lihat dia melihat-lihat paket treatment yang ditawarkan. Setelah beberapa saat lalu dia berjalan menuju salah satu kursi yang masih kosong, tepatnya dua kursi di samping kiri gue.

Wanita itu sangat familiar di ingatan gue. Dude, is that you?

Putu.

Gue mengenalnya saat pertama kali masuk ke kantor gue sekarang. 28 September 2009. Dia lah orang pertama yang gue kenal di kantor. Mulai dari sama-sama mengisi kelengkapan data di HR Department, sampai mengelilingi satu ruangan untuk menyalami para pekerja lainnya satu-persatu. Beruntung kami berada dalam divisi yang sama.

Wanita muslim keturunan Bali ini memiliki perbedaan usia yang cukup jauh dengan gue, 11 tahun. Dia bahkan masih single di usianya yang berada di penghujung 30-an. Orang tuanya kaya raya dan memiliki jabatan yang cukup berpengaruh di dunia perbursaan. Oleh karenanya, semenjak remaja dia mengemban ilmu di negeri Paman Sam. Bahkan sejak lulus S2 dia juga bekerja di sana. Baru sekitar awal 2000-an dia kembali ke Indonesia.

Berada lama di luar negeri membuatnya tidak suka dipanggil dengan kata sapaan ‘Mbak’ atau ‘Ibu’ misalnya. Just call me Putu, she said. Sehari-hari lebih sering menggunakan bahasa inggris karena menurutnya, susah untuk menghilangkan kebiasaan.

Sejak hari sama-sama menjadi newbie di kantor, kemudian kami menjadi sahabat baik. Bagi gue, dia bahkan sudah seperti kakak sendiri.

Kebiasaan kami bersama dulu adalah pulang kerja bersama, di mana gue selalu ‘nebeng’ CRV silver-nya menerobos polisi 3-in-1. Sama-sama masih sendiri juga membuat kami kerap menghabiskan weekend bersama dengan belanja, perawatan, bahkan datang ke acara nikahan teman bersama. Sebenarnya tidak sepenuhnya belanja, tapi menemaninya belanja barang-barang dengan merk yang harganya berlipat-lipat dari gaji gue. Thanks to her, gue jadi pernah merasakan masuk ke dalam toko Channel, Kate Spade, Gucci, dan seterusnya yang cuma bisa buat sakit hati saja mengetahui harganya.

Dia tidak perhitungan, pernah bersama-sama beberapa teman pergi ke Taman Safari menggunakan mobilnya. Kami pergi dalam rangka mengantar gue melihat jerapah secara langsung. Lucu ya hehe. Kami hanya duduk manis di dalam mobil tanpa harus mengeluarkan uang bahkan. Tapi bukan itu yang membuat gue bisa bersahabat dengannya.

Banyak kisah hidupnya yang membuat gue iba. Dia kaya raya, tapi tidak bahagia. Dia tak memiliki kekasih dan kasih sayang keluarga yang kurang. Orang-orang di sekitarnya hanya mengukur kebahagian dari materi.

Suatu saat kami makan bersama, gue ‘curhat’ padanya tentang seorang laki-laki yang gue sayang pada saat itu. Saking sedihnya gue sampai menangis. Yang Putu lakukan adalah memarahi gue.

“Come on, dude. Don’t be such a fool crying over him. You deserve to be happy. You’re still young, you have so many best friends and a caring family.”

“Look at me.” Lanjutnya semakin berapi-api. “You’re luckier than me, dude.”Putu mulai terisak.

Dia benar. Gue memang ngga seharusnya terpuruk hanya karena seorang laki-laki. Ada orang lain yang memiliki masalah lebih berat ternyata. Melihatnya menangis membuat gue semakin merasa bersalah. Akhirnya kami putuskan untuk menghibur diri bersama. Shopping, menonton film midnight, dan dilanjutkan dengan menginap di rumah mewahnya. Besar tapi sepi. Dia sendiri dan hanya ditemani seorang asisten rumah tangga.

Gue juga masih ingat malam di kamarnya itu kami bermain ramalan kartu. Dia meramalkan kisah gue dan laki-laki yang gue sayang itu. “Berliku. Akan ada beberapa pihak ketiga di antara kalian. But, he’s gonna be your husband.” Begitu ramalannya.

Putu sudah mengatakan itu sejak gue memperkenalkannya pertama kali pada laki-laki itu. Dia teman pertama yang gue perkenalkan, dan gue ceritakan seluruh kisah antara gue dan laki-laki itu sejak awal. Laki-laki itupun pernah mengantarkan gue menjenguk Putu saat sakit.

“Kenapa kalian ngga pacaran saja sih, sudah bersahabat dekat kan?” tanya Putu saat itu.

Gue dan laki-laki itu sama-sama menggeleng dan tersenyum kikuk. Kami menegaskan saat itu hanya bersahabat. Setidaknya saat itu.

God sent people into our life for a reason, and remove them from our life for a lesson.

Mungkin porsi Putu dalam hidup gue hanya sesaat. Dia tidak nyaman dengan kehidupan di kantor kami. “So many fake people, here. F**k them all.” ucapnya dengan gaya khas seorang Newyorker. Peringainya yang keras membuatnya banyak bermasalah dengan banyak orang di kantor. Mulai atasan sampai rekan tim. Gue sendiri takut jika melihatnya marah, tak dapat diredam. Tapi gue berusaha sedemikian rupa menengahi masalah-masalah dia di kantor. Mungkin memang yang terbaik adalah dia harus mengundurkan diri. Dia tiba-tiba resign tanpa sedikitpun memberi kabar pada gue. Bahkan memutuskan kontak dengan gue dan juga teman-teman lain.

Tak ada lagi Putu menemani gue makan siang. Teman pulang kantor. Teman menghabiskan akhir pekan bersama. Teman bercerita apa saja. Dia tidak pernah tau akhir kisah gue dan laki-laki itu. Ingin sekali sebenarnya jika diberi kesempatan bertemu lagi dengannya, hal yang akan gue katakan pada Putu adalah:

Dude, You’re wrong. Ramalan lo salah. Bahkan gue dan laki-laki itu sudah menjadi asing satu sama lain. Semua yang indah pernah kami alami saat dulu berakhir menjadi bencana. Ingat dulu laki-laki itu pernah menamani gue di acara Family Gathering kantor? I bet you never thought that, me and him working at the same buiding now. Dia bekerja di industri yang sama dengan gue, dude. So close yet so far away.

And dude, you’re always wrong. Mengira gue adalah salah satu dari fake people seperti yang lo tuduhkan pada orang lain, sehingga dengan begitu saja memutuskan komunikasi dengan gue. I’m always true, dude. I feel so sad about us.

Don’t you know that I miss you, dude? If only you were not leaving me, at least I still have you as a bestfriend after loosing him.

Dan sore tadi gue sendiri pun ngga yakin apakah lo adalah wanita itu, dude. Sangat mirip tapi ngga mungkin. Lo ngga bergaya seperti wanita itu. Lo selalu memakai rok mahal dan bukannya celana selutut kumal seperti itu. Rambut lo yang di-highlight seperti wanita bule pirang selalu terurai, tidak berwarna hitam dan dikuncir asal seperti itu. Baju, tas, dan sandal wanita itu gue sangat yakin sama sekali bukan selera lo, dude. Dan dude, lo ngga mungkin beredar di Plaza Semanggi kan, bukan level lo.

Dude, dimanapun lo berada saat ini. Gue hanya ingin lo tau, lo tetap teman gue. Dan gue selalu mendoakan yang terbaik untuk lo. Ingat tasbih pemberian gue? Semoga masih disimpan dan dipakai setelah beribadah ya 🙂

Putu, till we meet again, dude.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s