Curriculum Vitae: (Pernah) Melontang-lantung

Week end kemarin, waktu gue balik ke rumah si nyokap cerita kalau teman lama bokap gue berkunjung dan dia bawa anaknya. Gue udah sakit perut duluan, apa gue mau dijodohin? Gue mulai panik dan dag dig dug mikirin ganteng enggak ya doi…

Ah, tapi ternyata itu cuma pikiran jelek gue aja. Anaknya perempuan, dan mereka memang datang membawa lamaran. Tapi bukan lamaran pernikahan, melainkan mereka datang untuk minta tolong dicarikan pekerjaan oleh gue. Gue? Enggak salah tuh?

“Mia kan sekarang sudah sukses, bisa kali ya bantuin anak saya dapet kerjaan.” Ujar sebut saja Om A, si teman bokap gue itu, yang diceritakan ulang oleh nyokap gue.

Amiin kalau gue dibilang sukses. Tapi gue cuma pegawai biasa, kantor gue bukan punya moyang gue yang bisa dengan gampang masukin kerabat untuk bekerja di perusahaan. Bukan, gue juga cungpret.  Gue pun dulu melalui tahap yang panjang untuk akhirnya bisa bekerja di tempat gue sekarang untuk mengais lembaran rupiah.

Tapi gimana gue enggak terenyuh mendengar cerita si Om A, anaknya baru saja lulus tahun ini dengan mengantongi gelar Sarjana Ekonomi. Dia sudah mengirimkan lamaran ke pabrik-pabrik yang tersebar di daerah Anyer dan Merak, yang merupakan domisili tinggal mereka tapi sampai sekarang belum ada hasil. Minta bantuan sampai ke rumah gue mungkin sudah pilihan terakhir. Sayangnya, gue enggak bisa kasih janji.

Pertama, karena gue tahu kantor tempat gue bekerja tidak sedang membutuhkan karyawan baru. Membawa lamarannya ke HRD hanya akan memberikan harapan palsu, karena gue tahu paling-paling ditumpuk begitu saja. Kedua, jika sedang open recruitment pun kantor gue menggunakan jasa pihak luar, sehingga lamaran pun diproses melalui mereka.

Duh enggak tega sih, tapi biarlah. Lontang-lantung dan berjuang dapat pekerjaan adalah proses yang harus dilalui setiap insan yang baru lulus kerja. Pernah melontang-lantung kalau bisa dimasukin di CV, masukin deh. Idealisme mengaplikasikan ilmu saat kuliah jadi bikin semangat untuk cari kerja sana – sini. Justru kalau menurut gue sih, akan lebih kerasa manis ya, mengingat susahnya dulu cari kerja. Dan gue pribadi jadi menghargai usaha gue sendiri dengan enggak menghamburkan hasil jerih payah gue dan bekerja dengan baik, di tengah banyaknya isu korupsi dan gratifikasi yang lagi populer sekarang ini.

Ah, gue jadi inget bukunya si Roy, sahabat sekaligus rekan berbagi royalti di Trave(love)ing. Judul bukunya  Lontang-Lantung, sebelumnya berjudul Luntang Lantung. Justru awal tahu kalau Roy itu penulis ya lewat Luntang-Lantung ini. Sekarang, dicetak ulang dengan judul sedikit diperbaharui karena mau difilmkan! Tuh berarti keren kan bukunya. Emang keren.

photo (41)

Ceritanya simpel dan mewakili anaknya si Om A banget. Lulus kuliah, so what’s next?

Dari awal Roy memperkenalkan tokohnya yang bernama pasaran (dan mirip nama mantan gue, hiks) saja sudah bikin nyengir, gue ketawa terus setiap membalik halaman demi halaman. Sesuai judulnya, sudah bisa diduga jalan ceritanya yang mengisahkan susahnya cari pekerjaan.

Well, rata-rata dari kita semua pernah mengalaminya kan? Berbekal ijazah kuliah, pengetahuan yang dijejali dosen selama kurang lebih 4 tahun, dan doktrin lulusannya paling sial jadi Menteri (ehm, itu sih moto sombongnya kampus gue), bikin anak kuliahan yang baru lulus dan beridealis tinggi untuk mendapat pekerjaan yang bagus.

Sama kayak gue dulu, sama dengan si tokoh di Lontang Lantung itu, dan begitu juga dengan anak si Om A tadi. Ada hal yang karena idealisme yang dianut tersebut bikin kita gengsi bekerja di tempat ecek-ecek. Kita lupa satu hal, angka pengangguran setiap tahun tinggi, bro. Yang penting cari pengalaman dulu, untuk batu loncatan jenjang karir berikutnya. Jangan malu meski hanya mengawali karir sebagai seorang salesman oli XD

Om A melihat kantor gue yang menurutnya oke, lalu berusaha memasukkan anaknya agar bisa bekerja di situ lewat gue. Mana bisa instan, apalagi gue sendiri yang mengalami harus melewati beberapa tahap tes. Mulai dari psikotest menjumlah deretan angka yang bikin tangan keram dan leher pegal-pegal. Sampai diskusi kelompok yang membahas barang apa yang harus dibawa ketika terjebak sendirian di bulan. What the hell are you thinking going to the moon and stuck there??? Hadeh.

Tapi sebenarnya gue cukup beruntung, enggak salah ambil jurusan yang sejujurnya dipilihkan sama nyokap gue dulu. Ingat tentang tulisan gue yang cinta banget sama pelajaran fisika? Dulu cita-cita gue ketika SMA adalah melanjutkan studi teknik sipil. Adalah nyokap gue yang menentang habis-habisan pilihan gue. Kata dia, masa perempuan jadi tukang bangunan?? Ya kali Maaaaah. Satu-satunya alasan gue menuruti maunya nyokap adalah, doi saat itu sampai sakit-sakit yang belakangan gue tahu kalau itu cuma taktiknya saja. Pffft.

Karena gue waktu sekolah ada di jurusan IPA, untuk mengambil ujian SPMB (sekarang namanya apa ya?) maka gue harus mengambil ujian IPC. Gue tuh benci banget sama mata pelajaran IPS kayak ekonomi, akuntansi, dan geografi. Kecuali pelajaran sejarah yang gue suka banget, itu kenapa kali ya gue suka terjebak di masa lalu. Eaaaa.

Jadi untuk bisa jebol pilihan pertama SPMB yaitu akuntansi, gue sampai ikut les ,pemirsa. Itupun tetap saja nilai try out gue jelek. Tapi memang gue sudah digariskan untuk jadi akuntan, akhirnya gue berhasil tembus jurusan akuntansi di salah satu kampus favorit yang ada di Depok. Dan akhirnya, gue menjadi auditor garis keras sampai sekarang.

Awalnya jadi auditor, karena ya mana lagi kantor yang menerima karyawan belum lulus untuk bekerja? Sambil menunggu jadwal sidang kompre gue keluar, daripada enggak jelas di kampus gue dan beberapa teman melamar ke KAP 2 huruf yang lokasinya di twin towers bilangan SCBD. Seminggu setelah wawancara gue langsung diterima, lalu besoknya mulai bekerja, tepatnya tanggal 1 Desember 2005 (Njir, sudah lama banget ya gue kerja, kalau anak sih sudah masuk SD). Enggak tanggung-tanggung, langsung dijeburin ke kantor klien yang alhasil bikin gue nangis karena berantem sama klien di hari pertama kerja.

Begitu berat kerjaan gue sampai-sampai ketika besoknya sidang, malamnya masih lembur. Tega pisan ih. Gue lulus kompre bulan Januari 2006, diwisuda bulan Februari 2006.  Empat bulan kemudian diangkat jadi karyawan tetap dan akhirnya pensiun dini di bulan September 2009.

Lalu apakah gue akhirnya pensiun juga dari profesi auditor? Enggak, gue masih dikasi rejeki sebagai auditor. Di kantor setelah KAP dua huruf pun, gue masih bekerja sebagai auditor. Biarlah tetap menjadi auditor sampai tua dan enggak pernah merasakan jadi auditee, tapi paling enggak pernah ‘ngerasain’ auditee. Aeeeeh mati luh.

Enggak komplit rasanya hidup lo, kalau enggak pernah merasakan cinlok sama teman kantor. Atau dalam kasus gue tadi, flirting sama klien. Di Lontang-Lantung juga dibumbui dengan kisah cinta yang makin bikin buku ini uhuk-able. Uhuk!

Kembali ke anaknya si Om A tadi, untuk menghiburnya dan membuatnya semangat dalam mencari pekerjaan, gue putuskan untuk menitipkan buku Lontang-Lantung untuknya. Mungkin melalui buku ini, dia bisa jadi ada gambaran untuk menjalani proses pencarian kerja dan bagaimana dunia bekerja yang digamblangkan Roy dengan apa adanya. Apalagi di buku ini ada tips kerja yang lucu tapi enggak ngawur.

Gue sudah baca sampai habis dan selain bikin ngakak, buku ini benar-benar bikin nostalgia jaman dulu mencari kerja. Gue sangat terhibur dan gue harap anaknya si Om A juga merasakan yang sama.

Ada beberapa bagian yang gue suka banget di buku ini, pertama adalah quotes bangkek khas Roy yang menghiasi setiap pembuka bab. Ini nih yang paling nyeleneh, “Berusahalah sekarang juga, karena Senin harga naik!” Ngehek lo Roy. Kedua, unsur komedi yang diangkat Roy smart banget dan orisinil, contohnya tentang MLM. Penasaran kan?

Pastinya, Lontang-Lantung adalah salah satu buku yang dengan tuntas gue baca beberapa jam saja dan enggak ada satu bagian pun yang gue skip. Komplit karena bahasa yang mudah dimengerti dan alur cerita yang enggak bosenin.  Jadi, buat yang lagi mencari atau sudah duduk nyaman di kursi kantornya, gue rekomendasiin untuk baca buku Lontang-Lantung.

😀

8 thoughts on “Curriculum Vitae: (Pernah) Melontang-lantung

  1. wah, jurusan dan kampusnya sama dengan suami saya… tapi dia versi ‘maksa’ masuk negeri, yaitu lewat jalur D3 dulu bukannya via lulus UMPTN 😀 *laaaaah OOT*

    Like

Leave a comment