Comfortable Of Being Uncomfortable

“Lo nyari cowo yang kayak gimana sih, Mi?”

Siang menjelang sore kemarin, gue BBM-an sama ceweknya teman baik gue. Namanya Adel (disamarkan), pacarnya teman yang sudah gue anggap adik sendiri, bernama Evan (disamarkan juga).

Perbincangan kita ngalor-ngidul banget, biasalah girls things, gak jauh dari ngegosipin cewek-cewek yang pernah ngejar-ngejar si Evan.  Entahlah si Evan ini punya apa sampai punya banyak fans gitu. Ngakunya sih 11-12 sama VJ Daniel. VJ Daniel 11 siang, si Evan sih 12 malam.

Anyway, masuklah gue dan cewek yang selisihnya 5 tahun di bawah gue ini, ke pembahasan rencana ngumpul-ngumpul dalam waktu dekat. Adel menanyakan gue nanti datang bersama siapa? Ya gue jawab kalau gue datang sendiri. And she came up with the idea, “Yaudah nanti cari di tempat aja.” Yakali deh Del, semudah itu.

Dan pertanyaan di pembuka tulisan ini akhirnya dikirimkan oleh Adel. Gue berpikir lama sebelumnya, sampai akhirnya terdorong untuk mengetikkan beberapa kata.

Gue menekan tombol ENTER, lalu pesan gue yang semula bertanda ‘centang’ di layar berubah ‘D’ dan langsung berganti ‘R’. Pesan gue yang langsung dibaca olehnya itu bertuliskan..

“Jangan-jangan gue selama ini emang lagi enggak nyari ya, Del :|”

Adel is writing a message..

“Jangan-jangan lo udah nyaman begini. Keenakan.”

Sebuah pesan lanjutan tak lama diterima BB gue lagi dari orang yang sama, “Apa lagi yang dicari? Kerjaan mapan, umur matang, hidup enak.”

I hate to admit it, but yes. Damn she was right. Gue sedang berada dalam zona aman gue. Terlalu menikmati.

Gue saat ini sedang enggak mencari cinta, atau sebut saja pacar untuk nantinya menjadi calon suami gue. Mengingat wanita seumur gue lainnya sudah pada menyusui baby. Masa’ gue masih menyusui orang dewasa. Maksudnya menghidangkan segelas susu ya 😐

Status gue memang single, but appearently, gue saat ini kemana-mana masih bareng sahabat gue yang berjenis kelamin laki-laki. And he’s straight by the way. Cowok dan cewek sahabatan itu enggak selalu karena si cowoknya bencong kok. Gimana enggak masih bareng, kita udah sahabatan kurang lebih 3 tahun dan kita berdua sama-sama jomblo. He was there for me when no one was. He always tries his best for me. And I do the same things for him. Apalagi kita berdua berada di gedung yang sama lima hari dalam seminggu. Minimal satu jam dari waktu kita, ya dilalui dengan sarapan bersama. Sesekali kami juga menonton bioskop sepulang kerja. Apakah itu berlebihan?

Gue sudah sangat bersyukur dengan apa yang gue punya kok, dalam hal ini ya sahabat gue itu. At least gue enggak sendiri, gue nyaman bersamanya. Dia tempat cerita mulai dari kepusingan kerja di kantor, apa yang terjadi di keluarga gue, kekonyolan teman-teman gue, sampai tertawa untuk hal yang enggak penting. Apapun yang terjadi selama 24 jam kami, dipadatkan menjadi 1 jam saat kami saling bercerita sambil menikmati segelas jeruk hangat, yang ditemani oleh jus tomat favoritnya.

Kadang gue berpikir, jangan-jangan rasa kenyamanan ini hanya timbul di satu pihak saja. Yaitu gue. Dia mungkin saja merasa terpaksa dengan persahabatan kami ini. Selama ini, gue lah yang menciptakan rantai yang membelenggunya sampai tak punya pilihan lain selain bersama gue.

Gue pun menyampaikan kepadanya kekhawatiran itu. Dan dia berhasil meyakinkan gue untuk tidak berpikir aneh-aneh. Dia enggak pernah merasa terpaksa dan dengan senang hati menjadi sahabat baik gue, semampu yang dapat dia berikan. Dan gue tahu dia tulus, sehingga tak sampai hati untuk mengecewakan dia dengan menjauhinya (lagi).

Gue enggak butuh banyak, hanya butuh cukup. Gue enggak mencari ketampanan fisik atau materi berlimpah, gue hanya membutuhkan orang yang juga membutuhkan gue. Itu saja cukup untuk gue. Dan saat gue mendapatkan rasa dibutuhkan itu, itu lah definisi kenyamanan buat gue.

Tapi orang itu, sejauh ini, adalah dia. Si sahabat.

Ketika kenyamanan adalah hal yang kita cari, bagaimana jika kenyamanan itu kita temukan pada seseorang yang tak mungkin kita miliki?

Lalu apakah gue benar-benar merasa nyaman dengan keadaan gue sekarang? Ataukah sebenarnya gue tidak pernah merasa nyaman, tapi lama-kelamaan menjadi nyaman dengan ketidaknyamanan itu sendiri. I feel comfortable of being uncomfortable.

Comfortable Of Being Uncomfortable
Comfortable Of Being Uncomfortable

😐

Apapun itu, sepertinya  sudah saatnya keluar dari zona aman. Atau zona tidak aman yang sudah terlalu lama gue tinggali sampai nyaman rasanya.

People said, life begins when you’re out of your comfort zone. Gue sadar banget, kedekatan gue dan si sahabat enggak boleh menjadi halangan untuk gue mencari lagi yang lain. Tanpa merusak apa yang gue punya bersamanya.

Tapi biasanya, akan selalu ada yang harus dikorbankan. Kita enggak bisa memiliki cinta dan persahabatan sekaligus. Ketika cinta datang ditawarkan oleh pria lain, persahabatan gue dengan si sahabat perlahan pasti memudar. Atau dari sudut pandang lain…ketika gue mulai merenggangkan persahabatan gue dengannya, cinta baru akan muncul ke hidup gue.

Tampaknya sudut pandang kedua lebih mendukung untuk gue tidak lagi berada dalam posisi (yang gue pikir) aman. Mungkin gue sebaiknya melebarkan lagi sedikit jarak di antara gue dan sahabat, lalu mulai mencari seseorang yang tidak memberikan kenyamanan sementara. Mungkin. Entahlah.

We all want somenone who can make us feel comfortable permanently, not temporarily.

Am I right?

3 thoughts on “Comfortable Of Being Uncomfortable

Leave a comment